PERAN ORANG TIONGHOA DALAM EKONOMI PERDAGANGAN DI KALIMANTAN BARAT PADA MASA PRA KOLONIAL




PERAN ORANG TIONGHOA DALAM EKONOMI PERDAGANGAN DI KALIMANTAN BARAT PADA MASA PRA KOLONIAL
HINGGA MASA KOLONIAL

A.    Masuknya Orang Tionghoa ke Kalimantan Barat
Etnis Tionghoa merupakan golongan yang sangat ulet dan terampil, hal ini menjadikan etnis ini selalu mendapatkan respon dari masyarakat dimanapun mereka tinggal. Pada saat ini belum begitu jelas bagaimana kedatangan bangsa Tionghoa ke tanah Borneo bagian barat, akan tetapi sangat jelas sekali bahwa kedatangan mereka adalah untuk berdagang. Adapun kedatangan orang cina dan bermukim di Kalimantan barat serta bukti-bukti mengenai hubungan antara Provinsi Guangdong dan Kalimantan Barat lebih bersifat ekonomi .
Sebelum abad ke 13, pengunjung dan pedagang dari Tiongkok sudah mendatangi pulau Borneo, untuk melakukan perdagangan. Wilayah Kalbar yang berada di laut China Selatan, juga merupakan lintasan perdagangan internasional, dari dan menuju India. Karenanya, tak heran bila banyak armada dagang yang melewati atau singgah di daerah ini. Pada masa ini, orang Tionghoa belum banyak yang menetap. Dalam kontak perdagangan itu, barang dagangan dari Borneo yang diekspor biasanya terdiri dari hasil hutan dan laut, emas dan intan. Lalu, barang itu ditukar dengan garam, beras, dan barang kebutuhan lainnya dari Tiongkok. Orang Tionghoa mulai menetap di wilayah Kalbar, dalam jumlah besar sekitar pertengahan abad ke 18. Migrasi orang Tionghoa menempati wilayah yang disebut Distrik Tionghoa. Daerah ini meliputi sebelah Utara Pontianak, sepanjang pesisir hingga ke Sambas dan perbatasan Sarawak. Wilayah tersebut meliputi lembah-lembah sungai yang subur. Tak hanya di sepanjang pesisir, tapi mencakup wilayah hingga puluhan kilometer ke pedalaman. Dalam istilah administrasi saat ini, Distrik Tionghoa mencakup wilayah Kota Pontianak, sebagian Kabupaten Pontianak, dan sebagian Kabupaten Sambas. Sebagian besar yang menghuni Distrik Tionghoa merupakan orang Hakka(Muhlis Suhaeri, 2009).
Meskipun hubungan yang terjalin sudah berabad-abad bahkan sebelum datangnya orang Eropa ke Kalimantan Barat pada abad XVI, namun orang-orang Cina datang dalam jumlah besar pada pertengahan abad XVIII. Orang-orang Cina ini diundang oleh penguasa lokal untuk mendulang emas di Kalimantan Barat (Poerwanto Hari, 2005:117).
Pada saat itu daerah Kalimantan Barat menjadi daerah yang sangat diminati oleh para penambang, dan semua kerajaan yang ada juga menggunakan emas sebagai salah satu pendapatan terbesar pada saat itu. Sebelumnya para penambang emas dilakukan oleh masyarakat setempat (Melayu dan Dayak) akan tetapi produktivitasnya kurang memuaskan bagi pejabat lokal, hingga pada akhirnya, orang-orang cinalah yang dipekerjakan untuk menambang karena dianggap ahli untuk hal seperti ini.
Perkembangan pertambangan yang cukup pesat mengakibatkan meningkatnya jumlah imigran Cina. Mereka mulai menyebar dari Larah ke Montrado dan sekitarnya. Imigran-imigran ini yang kemudian menjadi kekuatan sosial-ekonomi dalam mengembangkan daerah di Kalimantan Barat. Semakin banyaknya penambang juga membuat mereka sadar bahwa harus ada yang mengorganisasikan mereka dalam kelompok-kelompok kecil. Pemimpinnya dipilih oleh mereka sendiri dan membagi keuntungan dengan para anggotanya. Tradisi ini memang sudah mereka terapkan sejak lama di Tiongkok. Mereka sadar bahwa mereka berasal dari daerah yang sama serta dengan tujuan yang sama. Kelompok-kelompok ini yang berkembang menjadi kongsi di distrik-distrik Cina seperti Sambas, Mempawah, Pontianak dan Landak. Beberapa faktor memang melatarbelakangi pembentukan suatu kongsi. Tidak hanya karena kesamaan daerah dan tujuan, tetapi adanya usaha mereka untuk mempertahankan diri dari musuh juga menjadi faktor pembentukan suatu kongsi.

B.     Aktivitas Ekonomi Orang Tionghoa di Kalbar
Golongan Tionghoa merupakan golongan minoritas yang ada di Kalimantan Barat, akan tetapi golongan ini tidak menjadikan diri mereka sebagai kaum yang terpinggirkan dimana mereka bermukim, bahkan dengan keuletan, mereka dapat menjadi tulang punggung utama pertambangan pada saat itu, dan dapat dikatakan bahwa etnis Tionghoa menjadi kunci ekonomi dalam masyarakat.
Pada awal kedatangan, orang Tionghoa lebih banyak bergerak di sektor pertambangan emas. Karena tingginya harga kebutuhan pokok yang diterapkan pihak kerajaan Sambas, mereka juga memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani. Sebagai petani, orang Tionghoa dan Dayak tidak bersaing memperebutkan tanah. Biasanya orang Dayak bertani di tanah lebih tinggi, kering, dan berbukit-bukit. Sebab, daerah itu lebih cocok untuk berladang. Orang Tionghoa menyukai dataran rendah dengan banyak pengairan untuk bersawah.
Dalam perkembangannya, kedua sistem itu berubah seiring berjalannya waktu. Beberapa orang Dayak beralih ke tanah basah. Demikian juga orang Tionghoa. Dengan pengenalan terhadap tanaman niaga, seperti karet dan lada, orang Tionghoa menggunakan dataran tinggi. Pada abad ke 20, kondisi tanah mulai berkurang. Kondisi itu membuat persaingan antara dua kelompok etnis tersebut juga meningkat. orang Tionghoa juga mengisi berbagai sektor ekonomi dan perdangangan. Para petani dan pedagang Tionghoa punya peran utama di Kalbar. Mereka menyumbang berbagai ilmu pengetahuan dan pengenalan, terhadap berbagai jenis tanaman baru, dan penggunaannya bagi petani setempat.
Di pertambangan, kemampuan orang Tionghoa disatukan dalam berbagai pekerjaan, melalui sebuah organisasi tambang atau kongsi. Mereka mandiri dan memenuhi berbagai keperluannya sendiri. Sangking kuatnya, pemerintah kolonial Belanda, juga khawatir dengan keberadaan organisasi ini. Para penambang ini relatif merdeka hidupnya. Ada beberapa alasan, kenapa para penambang bisa hidup merdeka. Kondisi alam yang luas, membuat mereka lebih bisa mendayagunakan sumber daya alam yang ada. Sifat dari kekuasaan kerajaan Melayu, kekuatannya terpusat dan lemah di pinggiran. Tak ada penguasaan wilayah. Yang ada hanya penguasaan orang-orang. Sementara, orang sifatnya dinamis dan bisa pindah ke mana saja dan kapan saja.
Dalam bidang ekonomi, ada sesuatu yang unik dan khas dari Tionghoa di Kalbar. Sejak pra-kolonial hingga sekarang, mereka berorientasi keluar dan tidak terikat dengan Jawa, yang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi. Orientasi ekspor, tapi lebih cenderung pada penyelundupan. Kecenderungan ekonomi lebih terhubung dengan Singapura, Sarawak, dan lainnya. Sifat orientasi ekonomi keluar ini, jadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang terus berulang dengan pemerintah pusat.
Hal paling penting, kenapa orang Tionghoa memperoleh kemerdekaannya, karena mereka mendayagunakan organisasi- organisasi yang kuat dan relatif stabil, yaitu kongsi. Tak heran bila, keberadaan kongsi yang merdeka dan kuat tersebut, membuat penguasa kolonial berang. Belanda menganggap, organisasi Tionghoa teleh merebut kekuasaan, atas berbagai hal yang tidak boleh menjadi hak mereka. Termasuk dalam hal kepemilikan tanah.
Di Negara asalnya, orang-orang Tionghoa bermata pencarian sebagai petani. Tetapi keadaan di Hindia Belanda pada saat itu sangatlah berbeda, orang Tionghoa tidak diperbolehkan memiliki tanah sehingga mereka mengembangkan dirinya di sektor lain yakni ekonomi perdagangan, baik perdagangan perantara maupun usaha pengkreditan uang dan bidang pertukangan. Mereka mengambil peran vital sebagai pedagang perantara, yang menghubungkan antara pedagang atau perusahaan impor-ekspor besar asal Eropa dengan konsumen atau produsen pribumi. Orang Tionghoa adalah pemimpin dunia usaha di Hindia-Belanda, mereka memegang monopoli atas perdagangan kecil, dan bertindak sebagai perantara antara importer dan Eksportir Belanda dan produsen serta konsumen pribumi (mac Nair dalam Ong Eng Die, 1979:36).

C.    Elite Ekonomi Tionghoa pada Masa Kolonial
Dari penjelasan di atas betapa kuatnya golongan yang dikatakan minoritas dalam perkembangan ekonomi yang ada di Kalimantan Barat. Ong Eng Die dalam disertasinya Chineezen in Nederlandsch-Indie: Sociografie van een Indonesische Bevolkingsgroep (1943) mengutip Pernitzsch menyatakan bahwa peranan orang Tionghoa yang paling penting adalah dalam perdagangan perantara (dengan ini termasuk perdagangan kecil) dan kerajinan tangan. Mereka ini tidak bias tidak, harus ada (Die 1943:108).
Belanda senang menggunakan orang Tionghoa sebagai perantara dengan penduduk pribumi. Belnda juga memakai orang Tionghoa sebagai penarif pajak. Sejak masa awal VOC, Belanda telah berhubungan dengan para penduduk Tionghoa di Hindia dengan menunjuk para opsir Tionghoa sebagai para perantara, yang dimulai dengan kapitan-kapitan Tionghoa pertama di Batavia. Belanda juga menerapkan sistem yang sama ketika mereka tiba di Borneo Barat. Orang Eropa yang mampu berbahasa Tionghoa baru tersedia dalam birokrasi pada paruh kedua abad ke 19, sehingga komunikasi antara orang Belanda dan orang Tionghoa sebelum masa itu dilakukan dengan bantuan para juru tulis dan penerjemah Tionghoa atau para opsir Tionghoa yang bisa berbahasa Melayu. Salah seorang di antaranya ialah Lim A Moy, seorang penerjemah untuk Sambas, yang telah melayani pemerintah selama dua puluh tahun sebelum dipensiunkan pada 1856. (Laporan Administrasi, 1856, ANRI BW 3/12). Pada masa VOC, Gubernur Jenderal J.P Coen pada 1623 memuji orang Tionghoa sebagai bangsa yang rajin, “daer is geen volck in de wereld, die ons beter dienen dan Chineezen” Tak ada bangsa di dunia yang melayani kita dengan lebih baik daripada bangsa Tionghoa (Ong 1943:63).
Di Pontianak pada abad ke 19, para opsir Tionghoa ditunjuk dan bekerja sebagai perantara antara pemerintah Hindia Timur Belanda dengan minoritas Tionghoa, seperti halnya juga di daerah Jawa. Hanya sedikit yang diketahui tentang para opsir itu sebelum 1838 (Heidhues, 2008: 178), walaupun keberadaan mereka tidak dipungkiri. Pada tahun itu, tiga orang kapitan Tionghoa untuk Pontianak dimasukkan dalam daftar pejabat: Hong Tjin Nie (kapitan besar atau kapthai), Lim Nie Po (kapitan tommonggong atau temenggung dalam pengertian jabatan Melayu), dan Kwee Hoe Toan (kapitan salewatan atau salawatang, maknanya tidak diketahui). Meskipun gelar mereka tidak dijelaskan, diketahui bahwa masing-masing dari mereka bertanggung jawab atas tiga komunitas besar yaitu Teochiu, Hakka dan Hokkien. Hong Tjin Nie, sang kapthai, berasal dari komunitas yang terbesar, yaitu Teochiu. (Laporan Politik 1856, ANRI BW 1/7: Tidak ada tradisi memisahkan para petugas berdasarkan kelompok perbedaan bahasa di Jawa, di mana orang Hokkien mendominasi hingga abad ke 20).
Seorang yang tipikal sebagai opsir sukses di zaman itu adalah Kwee Hoe Toan. Orang Tionghoa Hokkien ini, pada 1838 telah berpangkat sebagai kapitan, naik menjadi kapitan besar pada 1845 dan akhirnya dipromosikan menjadi majoor pada 1859. meski orang Hokkien adalah kelompok terkecil dari tiga kelompok besar di Pontianak, Kwee diangkat sebagai perwakilan dari semua kelompok, hal ini mungkin disebabkan karena ia nampak lebih cocok dengan para pejabat kolonial yang telah terbiasa dengan orang Hokkien di Jawa. Kwee jugalah yang memberi saran-saran pada pemerintah selama melakukan perundingan dengan Thaikong. Dia merupakan salah seorang Tionghoa terkaya di Borneo (Konferensi Orang Tionghoa di Pontianak, 1852-53. Kwee dan Kapitan Lay A Tjhok (atau A Tjhioh) adalah pengamat saat terjadi negosiasi dengan para perwakilan kongsi pada Desember 1852 dan Januari 1853) (ANRI BW 31/8—87).
Pada 1856 dia menjadi penjamin pacht candu, sebelumnya ia sendiri adalah pemegang pacht itu. Belanda menganggapnya dapat dipercaya dan diandalkan, namun rakus. Dia merupakan orang terpelajar. Sekalipun lahir dan dibesarkan di Borneo, dia bisa membaca, menulis dan berbicara berbagai bahasa Tionghoa yang berbeda. Overste Le Bron de Vaxela, yang memimpin perang melawan Monterado, menahan Kwee 1851 dan memenjarakannya selama dua bulan karena dia telah mengirimkan candu ke Sungai Pinyuh dan Mempawah. Penangkapannya tidak berdasarkan hukum, sebab Kwee sebagai pachter candu, melakukannya secara sah.
Namun meski telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan kehilangan banyak harta selama ditangkap, Kwee tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai majoor hingga 1862 (Heidhues, 2008: 179). Tahun berikutnya, putra Kwee yang bernama Kwee Kom Beng, muncul dalam catatan menjadi kapitan dan berkantor sampai diberhentikan pada 1880. kwee muda berulang kali disebut lebih Melayu daripada Tionghoa, sesuatu yang tidak merupakan kualifikasi untuk menjadi opsir Tionghoa, dan ia dikenal sangat dekat dengan istana Pontianak (Laporan Politik 1866, ANRI BW 2/4—224).
Uraian singkat mengenai keluarga bisnis Tionghoa pada masa Kolonial itu menunjukkan bahwa elite ekonomi Tionghoa pada masa itu memiliki hubungan atau terlibat dalam administrasi olonial (sebagai opsir Tionghoa). Hal yang menarik bagi golonhan Tionghoa, walaupun di bawah kekuasaan colonial belanda, elite bisnis Tionghoa tetap berkembang. Dan jelaslah bahwa etnis Tionghoa di Indonesia memiliki peran yang besar dalam kehidupan ekonomi perdagangan di Kalimantan Barat dan keberadaan mereka mereka memberikan warna terhadap perkembangan ekonomi yang ada di Kalbar. Hingga saat ini di Kalbar golongan Tionghoa merupakan etnis yang sangat berpengaruh selain etnis Dayak dan Melayu.





Daftar Bacaan:

1.      Die Eng Ong, Skinner G. Williem (ed. Mely G Tan). 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa). Jakarta: PT. Gramedia
2.      Hari, Poerwanto.2005. Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok: Komunitas Bambu.
3.  Suhaeri, Muhlis.2009.” Menelusuri Tionghoa Perintis di Kalbar “. Pontianak: Borneo Tribun.
4. Die, Ong Eng. 1943. Chineezen in Nederlandsch-IndiĆ«: Sociografie van een IndonesischeBevolkingsgroep. Assen: Van Gorcum.
            5. Usman, Syafaruddin. 2008. “Elit Tionghoa Kalbar Di Masa Kolonial Belanda”.                                           http://dinosman-rendezvous.blogspot.com/2008/12/elit-tionghoa-kalbar-di-masa-                                 kolonial.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA RAKYAT KALBAR (BATU BALAH BATU BETANGKUP)

makalah-sejarah kerajaan tayan