KILAS BALIK SEJARAH HUKUM DAERAH ISTIMEWA KALIMANTAN BARAT (DIKB) DAN PERAN SULTAN HAMID II
Oleh Turiman Fachturahman Nur
DIKB dalam Tataran Sejarah Hukum
Ketatanegaraan Indonesia”
Demi kejujuran sejarah dan sikap serta
kesadaran sejarah, berikut ini dipaparkan perjalanan sejarah hukum DIKB sampai
berdirinya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat yang setiap tahun
diperingati oleh Pemda Prov dan patut disadari bersama oleh anak bangsa adalah
suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian
yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah
memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting
serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya
kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah
sikap kejiawaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan
moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan
dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan
bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
Sebagaimana pernah dikutip oleh
proklamator kita Bung Karno dari Sir Jhon Seely, seorang sejarahwan Inggris
dalam bukunya “The Expansion Of
England “History ought surely in some degree to anticipate the lesson
of time. We shall all no doubt be wise after the event we study history that we
may be wise before the event”, maknanya ialah “bahwa semua
kejadian-lejadian di dalam sejarah itu mengandung pelajaran, dan bahwa kita
semua selalu menjadi bijaksana setelah ada suatu peristiwa sejarah terjadi” itu adalah logis
dan terang Kita tidak boleh akan tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama,
tetapi justru untuk bijaksana lebih dulu sebelum suatu peristiwa terjadi.
Berikut ini dipaparkan fakta obyektif
terhadap sejarah hukum DIKB dalam tataran ketataranegaraan Republik Indonesia,
bahwa secara yuridis sebelum kemerdekaan bagaimana kedudukan wilayah
Kalimantan, ternyata pada zaman pendudukan Jepang seluruh Kalimantan berada
dibawah kekuasaan Pemerintah Angkatan Laut Jepang, yaitu Borneo Meinseibu Cokan
1942 Agustus 1945 dan berpusat di Banjarmasin.
Setelah empat belas bulan Kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945, khusus Kalimantan Barat berstatus “Meinseibu Syuu”, sebelum pemulihan
kedaulatan Para Raja atau Sultan mencatat “tinta emas” di bumi
Khatulistiwa dengan semangat konsep “federalisme” daerah versi Sultan
Hamid II atau sekarang dikenal sebagai semangat otonomi daerah dan atas dasar
semangat itulah kemudian berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo
Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo-
Swapraja, yakni 1. Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mempawah,
Swapraja Landak, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja
Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Sekadau, Swapraja Tayan,
Swapraja Sintang dan Neo Swapraja, yaitu 1 Neo Swapraja Meliau, Neo Swapraja
Nanga Pinoh, Neo Swapraja Kapuas Hulu.
Keputusan Gabungan Para Raja atau
Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian mewujudkan suatu ikatan federasi
dengan nama “Daerah Istimewa Kalimantan Barat” atau DIKB dan
Keputusan itu kemudian secara hukum disahkan Residen Kalimantan Barat dengan
surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 No 161, pada tahun 1948 keluarlah Besluit
Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 No 8 Stabld Lembaran Negara
1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa dengan Pemerintahan
Sendiri beserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat yang terdiri dari
40 orang anggota dewan legislatif yang terdiri daripada 15 orang wakil swapraja
dan neo-Swapraja, 8 orang wakil golongan etnik Dayak, 5 orang wakil etnik
Melayu, 8 orang wakil etnik Cina, 4 orang wakil daripada Indo Belanda.
Sedangkan pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah
Istimewa dengan wakilnya yaitu Nieuwhusysen yang kemudian digantikan Masjhoer
Rifai’i. Dalam menjalankan
pemerintahan sehariannya, Sultan Hamid selaku kepala DIKB dibantu oleh sebuah
Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggota 5 orang, yaitu J.C Oevaang Oeray, A.F Korak, Mohamad
Saleh, Lim Bak Meng, dan Nieuwhusysen.
Berdasarkan rangkaian
ketatanegaraan tersebut di atas, maka tidak benar, bahwa Daerah Istimewa
Kalimantan Barat merupakan hasil bentukan Pemerintah Belanda sebagaimana wacana
para sejarahwan pusat, mengapa para Raja atau Sultan di Berneo Barat
menggabungkan diri kedalam DIKB, karena Kalimantan Barat merasa tidak ikut perjanjian
Renville jadi ketika itu jika Kalimantan Barat ingin membentuk negara di luar
RI 17 Agustus 1945 yang wilayahnya ketika itu hanya sebagian Jawa, Madura dan
sebagian Sumatera bisa saja dan Sultan Hamid II pernah ditawari oleh Kerajaran
Serawak Kucing Malaysia Timur untuk menjadi negara bagian Malaysia, tetapi
Sultan Hamid II tidak mau, itulah semangat nasionalisme Sultan Hamid II yang
tak pernah terungkap dalam tataran sejarah negara ini, sama dengan sumbangsih
Sultan Hamid II di KMB 1949 dan sumbangsih kepada negara sebagai Perancang
Lambang Negara RI, 1950 yang disahkan sebagai lambang negara RIS 11 Februari
1950 dan sekarang menjadi lambang negara kesatuan Republik Indoensia
berdasarkan Pasal 36 A UUD 1945 amendemen kedua tahun 2000 sebagaimana dijabarkan
dalam pasal 50 UU No 24 tahun 2009 yang sebelumnya menjadi lampiran resmi PP No
66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 6.
Sultan Hamid II
Pada Konferensi Meja Bundar (KMB)
Sultan Hamid II menjabat sebagai Ketua BFO yang mewakili daerah bagian/satuan
kenegaraan (DIKB - Dayak Besar, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur dan Banjar) dan negara bagian diluar RI 17 Agustus 1945 dan
Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta
bersepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat, pertanyaan kepada
sejarahwan, apakah jika Sultan Hamid II tidak pernah menanda tangani hasil KMB
Den Haag di Belanda 27 Desember 1949, apakah secara hukum internasional Belanda
mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad
Hatta atau dikenal Republik Yogya, mengapa hal ini tidak diangkat sebagai jasa
Sultan Hamid II sebagai “strategis politis” bagaimana secara
tidak langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara yuridis
negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ketika diwakili Mohammad Hatta, inilah
fakta obyektif secara hukum ketatanegaraan mengenai keberadaan DIKB bagi RI
dalam ini memperkuat Proklamasi 17 Agustus 1945, itulah yang dicatat oleh
sejarah sebagaimana dinyatakan Mr Surjadi dalam pembelaan periksaaan Perkara
Sultan Hamid II dalam Sidang MA tanggal
25 Maret 1953::” Sebagai telah diraikan Sultan Hamid II
dalam pembelaannya tadi, ia dari permulaan ada BFO turut serta secara aktif
dalam perjuangan mencapai kemerdakaan 100 % bagi nusa dan bangsa.
Negara-negara bagian yang diciptakan
oleh Pihak Belanda dengan maksud digunakan sebagai :”tegewicht” dan untuk
melemahkan “Republik Yogya”, dalam gabungan B.F.O dibawah pimpinan
Sultan Hamid II sebagai ketuanya, ternyata tidak merupakan lawan, akan tetapi
menjadi kawan bagi Republik.
Pada akhirnya yang berhadapan satu
dengan lainnya ialah Republik Yogya dan B.F.O disatu pihak dan Belanda di lain
pihak, sedangkan menurut rencana Belanda dengan dibentuknya Negara-negara
bagian semestinya Republik Yogya disatu pihak dan Belanda dan negara-negara
bagian di lain pihak. Keadaan itu tidak sedikit memperkuat perjuangan kita
terhadap dunia internasional. Sebab dengan
demikian dunia internasional diconfronteer
dengan persatuan yang kokoh kuat dari bangsa Indonesia.Kedua sayap, Republik
Yogya dan B.F.O maju bersama-sama.
Dengan penuh loyalitas dan
kesungguhan hati Sultan Hamid II turut melaksanakan Konferensi Antar Indonesia,
yang mencapai hasil yang sebaik-baik. Dengan tidak kurangnya loyalitas kepada
nusa dan bangsa Sultan Hamid II telah turut serta dalam K.M,B untuk mencapai
hasil maksimum dari Konferensi itu.
Sebagai hasil konferensi Antar
Indonesia dan K.M.B Negara Indonesia buat sementara dibentuk sebagai Negara
Federal. Satu dan lainnya ditetapkan (vasteglegd)
didalam UUD Sementara RIS 1949 yang telah disetujui oleh Republik dan B.F.O dan
kemudian diratifikasi oleh Parlemen dari masing-masing Negara Bagian. Sampai
ada pemilihan umum berdirinya dan hidupnya Negara-Negara Bagian dijamin U.U.D.
sementara tadi sebagai ‘overtuigd Federalis” dan sebagai Kepala
satuan kenegaraan dalam hal ini DIKB dan Sultan Hamid II mempunyai hasrat untuk
melaksanakan UUD sementara itu dengan sebaik-baiknya dan mengharap demikian
pula Negara Bagian yang lainnya.
Akan tetapi apakah yang Sultan Hamid
II lihat dan alami, segera sesudah
pengakuan kedaulatan ? (27 Desember 1949). Aliran yang menghendaki Negara
Kesatuan dengan segera memulai dengan aksinya untuk menghapuskan Negara-negara
bagian. Dengan jalan subersif atau dengan terang-terangan Pemerintah dan
Negara-negara bagian disabotase dalam pekerjaannya. Disamping intansi-intansi
Pemerintah Negara Bagian disana-sini tetap dipertahankan “schaduw bestuur’ yang diwaktu gerilya dibentuk oleh Republik Yogya sebagai
alat perjuangan untuk menghadapi Belanda. Dan Aliran ini merasa kuat untuk
berbuat demikian dengan keyakinan, bahwa alat kekuatan negara tak akan
menghalangi-halangi perbuatan mereka itu U.U.D. Sementara R.I.S dianggap sepi
belaka oleh mereka (Buku Peristiwa Sultan Hamid II, Tahun 1953 Persaja,
Jakarta, halaman 217-218)
Mengapa demikian, sebagai fakta
obyektif, karena secara hukum DIKB di dalam Konstitusi RIS 1949 pada Pasal 1
dan penjelasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah
Bagian bukan negara bagian, atau menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949
termasuk dalam perumusan satuan-satuan
kenegaraan yang tegak berdiri sendiri, seperi DIKB Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar, jadi
sekali lagi secara yuridis ketatanegaran DIKB bukan negara bagian tetapi Satuan
Kenegaraan yang berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS jadi setara
dengan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya
di Yogyakarta dan hal ini tidak pernah di angkat secara obyektif dalam menulis
sejarah DIKB yang digagas secara brilian para leluhur Raja atau Sultan di
Borneo Barat atau Kalimantan Barat yang sepakat mendirikan DIKB.
Jadi secara Hukum Tata Negara DIKB
tidak pernah dibubarkan dan jika ketika itu ada demo di Kota Pontianak kepada
Sultan Hamid II terhadap DIKB, kemudian hasil demo itu DIKB menjadi bubar
adalah sebuah “kebohongan sejarah” secara yuridis ketatanegaraan, karena
dengan berbagai demo yang dimotori anak-anak muda salah satunya almarhum Ibrahim
Saleh, hal itu karena beda visi dan beda derajad pendidikan dan belum memahami
mengapa Para Raja atau Sultan di Borneo Barat sepakat mendirikan DIKB yang
didukung oleh Sultan Hamid II yang berkedudukan sebagai Raja Kesultanan
Pontianak 1945-1976 dan sebagai Kepala Daerah DIKB jika saat sekarang sebagai
Gubernur, karena berbagai kesultanan ketika itu di Kalimantan Barat masih eksis
dan berjalan dan didukung oleh tokoh adat dan masyarakat adat, dan patut
disadari Para Raja atau Sultan memiliki pandangan visioner ke depan, dan saat
ini baru kita merasakan, lihatlah dan pembuktian sekian pemekaran Kabupaten di
Provinsi Kalimantan Barat salah satu proposalnya, menyatakan, bahwa Daerah kami
bekas Swapraja atau Neo Swapraja sebagai faktor historis yang nota bene adalah
bekas wilayah DIKB, secara obyektif fakta hukum ini tidak pernah diangkat oleh
sejarahwan Pusat.
Alasan yang digunakan para pendemo
Sultan Hamid II ketika berkunjung ke Pontianak adalah, karena Sultan Hamid II
beristeri Belanda keponakan Yuliana, dan dianggap DIKB sebagai sisa peninggalan
pemerintahan Belanda, pertanyaannya untuk sejarahwan secara hukum tata negara,
apakah secara yuridis DIKB yang didirikan oleh Para Raja atau Sultan Di
Kalimantan Barat berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat
tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo-
Swapraja dan kemudian diakui secara konstitussional pada Pasal 1 Konstitusi RIS
1949 adalah sisa peninggalan pemerintahan Belanda, ini adalah sangat naïf jika dipahami oleh
sejarahwan tanpa melakukan analisis pendekatan Sejarah Hukum Ketatanegaran
Pemerintahan berdasarkan fakta hukum yang dikonstruksi secara obyektif tentang
DIKB, karena Konstitusi RIS 1949 merupakan hasil tindak lanjut pengakuan
kedaulatan 27 Desember 1949 di K.M.B yang juga diterima oleh Republik Yogya.
Secara obyektif desakan demo kepada
Sultan Hamid II tentang DIKB dibubarkan, karena perbedaan visi antara kaum muda
dimotori kepentingan politis yang tak mengerti pandangan Para Raja atau Sultan
saat itu dan Pandangan dari Sultan Hamid II terhadap maksud didirikan DIKB,
coba kita baca secara lengkap Pledoi Sultan Hamid II pada Sidang Mahkamah Agung
tanggal 23 Maret 1953, mengapa Pandangan Sultan Hamid II terhadap maksud
pendirian DIKB tidak diangkat kepermukaan oleh sejarahwan, tulislah sejarah
secara obyektif dengan fakta historis yuridis jika akan mengangkat sejarah Tata
Pemerintahan yang berkaitan dengan DIKB, bangunlah fakta sejarah dengan
konstruksi sejarah hukum melalui analisis obyektif serta bukti sejaman.
Untuk mengatasi “crucial point” atas desakan itu,
maka berdasarkan Keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950,
masing-masing nomor 234/R dan 235 baik Badan Pemerintahan Harian DIKB maupun
penjabat Kepala Daerah DIKBmenyerahkan
wewenangnya kepada Pemerintah Pusat RIS yang diwakili oleh seorang Pejabat
yang berpangkat Residen, jadi tidak ada Pembubaran oleh Dewan Kalimantan Barat
terhadap status hukum DIKB, karena memang DIKB secara konstitusional diakui
secara hukum ketatanegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949.
Selanjutnya untuk menampung ini
Menteri Dalam Negeri RIS dengan surat Keputusan 24 Mei 1950 No B. Z 17/2/47
ditetapkan hak-hak dan kewajiban pemerintahan yang diserahkan tersebut untuk
sementara dijalankan oleh seorang Residen Kalimantan Barat yang berkedudukan di
Pontianak berdasarkan Pasal 54 Konstitusi RIS, jadi DIKB status hukum belum
bubar, hanya diambil alih oleh Residen Kalimantan Barat berdasarkan Kontitusi
RIS pasal 54, mengapa hal ini juga tidak diangkat oleh sejarahwan, bahkan
menyatakan terlalu berani, menyatakan bahwa DIKB telah bubar, dari mana dasar
hukumnya dari sisi Hukum Tata Negara, hati-hati seorang sejarahwan telah melakukan
“kebohongan sejarah” dan melukai “suarahati” para leluhur yang
nota bene para Raja dan Sultan di Kalimantan Barat yang bergabung di dalam DIKB
ketika itu dan para keturunan telah membentuk ikatan persatuan para Raja se
Indonesia/Nusantara, sejarahwan tersebut bisa diklaim telah melakukan “kebohongan sejarah
DIKB” dan obyektiflah
dalam menulis sejarah tanyakan kepada ahlinya jika tidak mengetahui, sebagai
pesan Rasulullah SAW kepada para sahabat.
Pada Tahun 1950 keluarlah Peraturan
Pemerintah RIS No 2/1950 tanggal 4 Agustus 1950 yang menetapkan bahwa seluruh
Kalimantan kecuali Daerah Jajahan kerajaan Inggris menjadi satu daerah Provinsi administrative. Dengan
demikian, secara Hukum Tata Negara Kalimantan Barat secara administrative
merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan dibawah pemerintahan Gubernur yang
berkedudukan di Banjarmasin dan berarti juga bahwa Kalimantan tanpa Kalimantan
Barat yang berstatus DIKB yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang
terdiri dari Daerah Bagian Kalimantan Timur dengan Keputusan Presiden RIS No
127 tanggal 24 Maret 1950, Banjar dengan Keputusan Presiden RIS No 13 Tanggal 4
April 1950, Dayak Besar dengan Keputusan Presiden RIS 138 tanggal 4 April 1950
dan Kota Waringin dengan Keputusan Presiden RIS No 140 Tanggal 4 April 1950
menggabungkan diri dengan Negara Bagian Republik Indonesia 17 Agustus 1945
Yogyakarta dan Pemerintah RIS mengangkat seorang Gubernur sebagai penjabat
Pemerintah yang tertinggi atas wilayah hukum seluruh Kalimantan, terkecuali
Kalimantan Barat sebagai DIKB, dan kedudukan Residen di Pontianak bersama
Residen Banjarmasin dan Samarinda dihapus atau diambil alih oleh Gubernur,
yaitu dibawah Gubernur yang baru dengan sebutan masing sebagai Residen
Koordinator.
Pertanyaan untuk sejarahwan, apakah
DIKB secara Hukum Tata Negara “bubar” berdasarkan
Konstitusi RIS 1949, secara obyektif berdasarkan fakta hukum, bukan fakta hasil
demo ketika Sultan Hamid II berkunjung ke Pontianak, DIKB tidak pernah bubar
dan fakta hal inilah yang seharusnya direkonstruksi kembali oleh sejarahwan
Kal-Bar dan sejarahwan pusat dengan pendekatan sejarah hukum agar lebih
obyektif dan ilmiah .
Perjalanan sejarah ketatanegaraan
Republik Indonesia kemudian memasuki UUDS 1950 yang berbentuk negara Kesatuan
pada tanggal 17 Agustus 1950, maka secara konstitusi DIKB sebagai Daerah Bagian
RIS atau sebagai Kesatuan kenegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949
hapus, sedang hak dan kewajiban Pemerintahan yang dijalankan oleh DIKB jatuh
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah UUDS 1950, tetapi Residen
tinggal di pos Pontianak sebagai Pegawai Pejabat Pemerintahan Negara Kesatuan,
artinya para Pejabat dimasa DIKB berubah status sebagai pegawai atau Pejabat
Pemerintah Negara Kesatuan dan Bapak Jimmi Ibrahim salah satunya.
Dengan demikian DIKB yang pernah
dirikan berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22
Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja menjadi
hapus secara konstitusional, sedangkan hak-hak dan kewajiban pemerintah
dikembalikan kepada anggota-anggota federasi DIKB dan fakta hukumnya para Raja
menjadi pejabat atau pegawai Pemerintahan Negara Kesatuan dibawah UUDS 1950.
Pada tahun 1951, keluarlah Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8 September 1951 No Pem 20/6/10 yang
menyatakan, bahwa yang mencakup segala ketentuan pembagian secara
administrative Daerah Kalimantan Barat atau DIKB, yang dahulu dikenal dengan “Residentie
Westerafdeling van Berneo” dan menjadi Daerah Kalimantan Barat
dibagi menjadi 6 enam Daerah Kabupaten administrative, yakni 1 Kabupaten
Pontianak, 2 Kab Ketapang, 3, Kab Sambas, 4 Kabupaten Sintang, 5 Kabupaten
Sanggau, 6 Kabupaten Kapuas Hulu dan sebuah daerah Kota Administratif
Pontianak.
Patut diketahui bahwa Sultan Hamid II
ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Kepala Swapraja Pontianak dan baru
diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri 2 September 1952 No Pem 66/25/6 dan
surat dimaksud baru dikirim kepada Sultan Hamid II pada tanggal 2 Januari 1953 dan setelah itu pada 25
Februari 1953 perkara Sultan Hamid II mulai diperiksa oleh Mahkamah Agung
Indonesia kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Sultan Hamid II”, oleh karena itu
pemberhentian Sultan Hamid II sebagai Kepala Swapraja secara sepihak disinilah
faktor politis telah mendahului proses pengadilan dan lebih faktual faktor
politis, bahwa Sultan Hamid II disidang oleh Mahkamah Agung Indonesia dibawah
UUDS 1950 sedangkan peristiwa Sultan
Hamid II terjadi dibawah Konstitusi RIS 1949 dan yang digunakan adalah UU
Darurat No 29 Tahun 1950 yang menjadi UU No 22 Tahun 1951 tanggal 3 Desember
1951 jadi berlaku surut sampai tanggal 27 Desember 1949 serta patut diketahui
bahwa Sultan Hamid II tidak terbukti terlibat dengan Peristiwa Westerlling,
karena dalam Putusan MA 8 April 1953 pada tuduhan primer dibebaskan disebabkan
dimuka sidang pengadilan tidak memperoleh bukti butkti yang sah dan meyakinkan
tentang kesalahan atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya dalam bagian primair
dari surat tuntutan, oleh karena membebaskan beliau dari tuduhan tersebut,
tetapi lihatlah sejarahwan pusat dan buku-buku sejarah selalu ditulis Sultan
Hamid II terlibat dalam peristiwa Westerlling 23 Januari 1950 sedangkan beliau
berada di Pontianak bersama Muhammad Hatta dan baru kembali ke Jakarta 24
Januari 1950 dan Sultan Hamid II dihukum atas pengakuannya sendiri sebagai
manusia khilaf karena bermaksud menyerang Rapat Dewan Menteri 24 Januari 1950
dan bermaksud menyuruh menembak Sultan Hamengkubuwono IX karena kecewaannya
dalam Kabinet RIS hanya diberikan jabatan Menteri Negara seharusnya menteri
Pertahanan Keamanan tetapi sampai malam peristiwa tersebut tidak terjadi,
tetapi dalam KHUP Belanda niat saja sudah dapat dihukum atau percobaan
kejahatan, bandingkan dengan peristiwa 3
Juli 1946 M Yamin melakukan kudeta dan di hukum 4 tahun disinilah diskriminasi
hukum terjadi, mengapa karena faktor politis, sebab Sultan Hamid II adalah sang
federalis sejati dan Kepala Daerah Istimewa Kal-Bar yang ketika itu memiliki
satu kompi tentara, yaitu “Kompi Dayak” yang telah
dipersiapkan sebagai kekuatan inti yang akan bergabung dengan TNI ketika masuk
ke Kal-Bar dan ketidak setujuan Sultan Hamid II terhadap pengiriman TNI ke
Kal-Bar tanpa pemberitahuan kepada beliau selaku Kepala DIKB atau tanpa permisi
lebih dahulu, sedangkan beliau sudah mempersiapkan penyambutan TNI ke Kal-Bar
itu akan digabungkan dengan tentara KNIL sebagai kekuatan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat/A.P.R.IS yang di ada di Kal-Bar termasuk didalamnya
kompi “Dayak” dan kekecewaan
beliau atas demo yang digerakan oleh lawan-lawan politiknya, karena Sultan
Hamid II berhaluan politik Masyumi M Natsir dan pejuang Federalisme sejati.
Berdasarkan ketentuan Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8 September 1951 No Pem 20/6/10 di atas, maka
Kalimantan Barat yang dahulu DIKB menjadi bagian Provinsi Administratif
Kalimantan dan dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Pontianak
yang merupakan subordinee kepada Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di
Banjarmasin, Jadi secara Hukum Tata Negara Residen Kalimantan Barat di
Pontianak bukan seorang Residen pendukung hak dan tugas sendiri, melainkan
hanya melaksanakan tugas koordinator saja dengan sebutan “Residen Koordinator” dan hal ini tidak
pernah diangkat sebagai fakta sejarah hukum DIKB.
Terbentuknya Daerah Otonom Provinsi
Kalimantan Barat Pada Tahun 1953 keluarlah UU Darurat No 2 Tahun 1953 yang
mulai berlaku dari tanggal 7 Januari 1953 yang mengacu atau berdasarkan UU No 2
Tahun 1948. UU Darurat tersebut pada Pasal 1 UU itu menyatakan, bahwa Daerah
Provinsi Kalimantan yang bersifat administrative seperti dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah RIS No 21/1950 yaitu dimaksudkan disini adalah DIKB yang
kemudian dibentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Kalimantan yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri.
Pada Tanggal 7 Januari 1953 UU Darurat
No 2 Tahun 1953 Tentang Pembentukan Resmi Daerah Otonom Kabupaten/Daerah
Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi
Kalimantan Barat. Kemudian untuk melaksanakan UU Darurat No 2 Tahun 1953
Pemerintah RI mengeluarkan UU No 27 Tahun 1959 yang disyahkan pada tanggal 26
Juni 1959 dan patut diketahui, bahwa pada tahun 1956 sebelumnya daerah-daerah
otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
mencabut UU Darurat No 2 Tahun 1953. Ini berarti secara Hukum Tata Negara,
bahwa UU No 25 Tahun 1956 ini memecah Provinsi Kalimantan menjadi 3 tiga
Provinsi Otonom dan UU No 25 Tahun 1956 selalu menjadi konsideran hukum atau
alas hukum pada angka 1 (satu) pembentukan PERDA sampai saat ini dan wajib dicantumkan pada PERDA Provinsi
Kal-Bar.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No Des 52/10/56 tanggal 12 Desember 1956 ditetapkan UU tersebut
yang mulai berlaku pada 1 Januari 1957. Dengan demikian secara “de jure” atau secara Hukum
Tata Negara sejak pada tanggal 1 Januari 1957 atau secara yuridis formal
Kalimantan Barat menjadi Daerah Otonom Provinsi, oleh karena sangat tepat
apabila HUT Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat tepat pada tanggal 1 Januari
setiap tahun, walaupun secara “de fakto” di Banjarmasin
diselenggarakan timbang terima dari Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Adapun wilayah Kalimantan Barat
yang dahulu wilayah DIKB ini meliputi daerah swatantra Kabupaten Sambas,
Pontianak sebagaimana ditetapkan oleh UU Darurat No 3 Tahun 1953 demikian yang
dipaparkan pada risalah Tanjungpura Berjuang, 1970, oleh SENDAM XII/Tanjungpura.
Mengacu pada paparan sejarah hukum
ketetanegaraan DIKB sampai dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat, maka
secara fakta hukum tata negara DIKB tidak pernah dibubarkan sampai dengan
diberlakukan UUDS 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950 dan kata lain keberadaan
DIKB secara Konstitusional berdasarkan pasal 1 Konstitusi RIS 1949 tak pernah
dibubarkan secara hukum tata negara, sampai dengan diberlakukan UUDS 1950 oleh
Presiden Soekarno.
Sekalilagi patut disadari bersama oleh
anak bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam,
atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali.
Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting
serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya
kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah
sikap kejiwaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan
moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan
dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan
bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
Itulah hikmah kearifan dan kesadaran
sejarah. Pernyataan itu selaras dengan ungkapan bersayap, bahwa sejarah harus
dijadikan motor penggerak bagi hari depan suatu bangsa, dan hanya bangsa yang
besarlah yang mau menghargai sejarah bangsanya, “Tanpa ingatan akan
sejarahnya dimasa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari
sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya” demikian yang
dinyatakan Roeslan Abdul Gani, dalam buku “Arsip Dan Kesadaran
Sejarah, 1979 halaman 2.
Semoga Allah memberikan rahmat dan
pembuktian nyata kepada siapa saja yang melakukan “kebohongan-Kebohongan sejarah”, dan ampunan dari Allah terbuka lebar bagi manusia dan
semoga Para Raja atau Sultan yang pernah mengungkir tinta emas berdirinya
Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB di bumi Khatulistiwa Kalimantan Barat
mendapat balasan dan akhirnya pengamatan terhadap sikap dan perilaku seseorang
tetaplah menjadi sesuatu yang belum pasti. Biarlah hal ini tetap menjadi
misteri dan hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui niat para Raja atau Sultan
ketika mendirikan DIKB yang ternyata saat ini banyak mengandung manfaat dalam
perjalanan sejarah pemerintahan daerah di Kalimantan Barat, yaitu pengulangan
sejarah DIKB dalam bentuk lain, yaitu Perjuangan Pemekaran berbagai Kabupaten
di wilayah Provinsi Kalimantan Barat kepada Pemerintah RI dengan mengulangi
bekas swapraja dan neo swapraja DIKB yang berjumlah 12 Swapraja dan 3 Neo
Swaprja, jadi kita berhak untuk melakukan pemekaran kabupaten menjadi 15
Kabupaten di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, selamat berjuang DIKB dalam
bentuk lain dan selamat memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Kalimantan
serta jangan sampai masyarakat Kalimantan menjadi penonton didaerahnya sendiri
atas “kerakusan” kekuasaan mengeksploitasi sumber daya alam Kalimantan dan
puncak kecewaan masyarakat adat dan elemen masyarakat Kalimantan yang
tersadarkan dari “tidurnya” memuncak dan mengkristal, karena hanya dijadikan “penonton” terhadap terkurasnya bumi kekayaannya sendiri, jika ini
yang terjadi bisa saja gerakan “Borneo
Merdeka” yang hanya isu itu menjadi kenyataan
sejarah dan “early warning”
ini perlu segera disadari oleh para penyelenggara negara, bahwa Kalimantan
adalah pulau harapan masa depan negara kesatuan Republik Indonesia, karena
didalam kandungan bumi terdapat sumber daya alam yang belum tereksploitasi tetapi
sudah terpetakan oleh para investor luar negeri, masihkah para pemimpin bangsa
Indonesia berpikir kedepan atau masih terjebak dengan paradigma lama “Jawa Sentris” dan “rebutan
pepesan kosong”dipusat kekuasaan, karena mengukur
penentuan DAK hanya dari jumlah penduduk pulau Kalimantan sementara luas
wilayah yang dibangun terabaikan potensinya tentulah dengan rumus seperti itu “pulau jawa mendapat kucuran DAK besar
karena penduduknya padat, adil katalinokah itu ?” padahal dihadapan mereka ada pulau harapan masa depan
Indonesia, yaitu “Borneo” yang membutuhkan percepatan pembangunan infra struktur dan
peningkatan kesejahteraan rakyatnya, tetapi lihatlah “kekayaannya diangkut” keluar tanpa disadari masyarakat kalimantan dan jangan
sampai yang diprediksi Sultan Hamid II benar ketika menyampaikan wasiat kepada
masyarakat Kalimantan di Bandara Supadio sebelum berangkat ke Jakarta 23
Januari 1950, bahwa kita sebenarnya dimasa mendatang sedang “dijajah oleh bangsanya sendiri”.
Sudah menjadi nasib Kalimantan Barat,
selepas Sultan Hamid II ditahan hingga wafat tanpa kehormatan, DIKB kemudian
dibubarkan pada penghujung tahun 1950. Kalimantan Barat statusnya hanya menjadi
sebuah provinsi dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956. Hilang sudah cerita
DIKB yang menjadi cita-cita Sultan Hamid II dan Para Raja, Sultan, Panembahan
dan Tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Kalimantan Barat. Apa yang didapat
Kalimantan Barat sebagai Provinsi yang tidak memiliki keistimewaan?
Pengeksploitasian
sumber daya alam (SDA) terjadi tanpa kendali, apalagi semasa rezim
sentralistik. Hutan Kalimantan Barat mengalami deforestisasi yang mencengangkan
sekaligus mencemaskan, sumber-sumber pertambangan di-eksploitasi, sungai-sungai
besar tak lagi jernih, mercuri mencemari, penduduk negeri digusur demi
perkebunan atas nama pembangunan. Tiada lagi kehormatan sebagai negeri yang
pernah berjaya, tiada lagi marwah sebagai negeri yang berdikari, tiada lagi
adat resam budaya yang terpelihara, peninggalan sejarah menjadi lapuk dimakan
usia, hak ulayat sudah tidak dihargai lagi, masyarakat adat terpinggirkan.
Apa beda Kalimantan Barat dengan Aceh,
Yogyakarta dan Papua?! Perihal keistimewaan atau mungkin kekhususan, Kalimantan
harusnya punya keistimewaan itu. Bedanya Kalimantan terutama Kalimantan Barat…meminjam istilah Melayu Pontianak ‘tak kuase jak’ untuk menagih itu. Kalimantan Barat selalu patuh dan
menjadi anak baik di negeri ini, Kalimantan Barat belum berani fight menagih kembali haknya. Saking
patuh dan penurutnya Kalimantan maka marwah tergadaikan. Padahal apa yang
kurang yang disumbangkan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat untuk negeri ini,
SDA yang dikeruk sampai Kalimantan tinggal tunggul dan ampas. Semoga di masa
hadapan Borneo menjadi lebih baik! (Penulis adalah Expert Hukum Tata Negara
UNTAN dan pernah menulis Sejarah Hukum Lambang Negara RI sebagai Tesis UI, 1996).
Komentar
Posting Komentar