SEMIOTIKA PERTUNJUKAN DALAM DRAMA
SEMIOTIKA PERTUNJUKAN DALAM
DRAMA
“SAYANG ADA ORANG LAIN”
Arahan Sutradara : Nuris
Iman
oleh : R.A. Hartyanto
A. PengantarMenurut Endraswara (2003 : 64) structural semiotic muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian structural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsic, semiotic memandang karya sastra memiliki sistem sendiri. Karena itu, muncul kajian structural semiotic untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda.
Seperti halnya bahasa, teater dapat menonjolkan atau membuat sesuatu yng aneh, asing, atau lain (make strange) unsur-unsur yang spesifik dari pemangungan sebagai cara untuk menciptakan makna yang lain sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi tanda. (Indarti, 2004 : 102)
Segala sesuatu yang disajikan kepada penonton dalam kerangka teatrikal adalah tanda. Membaca tanda-tanda (untuk memahaminya) adalah suatu cara yang dapat kita mulai dengan jalan ‘membaca’ (baca: memahami) apa saja yang berada di sekitar kita. Misalnya kita ‘membaca’ orang-orang yang kita jumpai di jalan, bagaimana mereka berpakaian, rambut kusut, pakaian yang lusuh, dan sepasang sepatu yang jelek yang menandakan pria kota. Meskipun kita dengan sendirinya akan ‘membaca’ dari apa yang kita lihat tersebut karena pengetahuan kita akan kode-kode pakaian (Barthes dalam Indarti, 2004 : 99-100)
Pertunjukan drama berjudul “Sayang ada orang lain” ini menceritkan tentang sebuah keluarga miskin yang telah lima tahun mengarungi bahtera hidup berumah tangga. Namun tekanan ekonomi membuat Suminta sebagai seorang suami putus asa dan memandang segala sesuatunya dengan pesimis. Berbeda dengan Suminta, Mini sebagai istri justru berpikir kebalikannya, karena tidak tahan melihat penderitaan suaminya yang selalu pesimis terhadap hidup maka ia menggunakan kesempatannya sebagai perempuan untuk menambah penghasilan bagi kebutuhan ekonomi yang semakin mencekik. Tapi kesempatan yang dianggap benar oleh Mini ternyata tidak demikian bagi Suminta, maka yang terjadi adalah masing-masing mereka memiliki kebenaran yang salah bagi pihak yang lain. Konflik semakin diperuncing dengan ikut campurnya kedua tetangga yang juga memiliki kebenaran yang salah bagi pihak yang lain. Mereka adalah Hamid dan Haji Salim. Selain mereka berdua juga muncul orang-orang lain yang mempengaruhi konflik yang mereka alami, yakni Sum sebagai penjual perhiasan yang bergaya hidup hedonis, tukang minyak yang datang menagih hutang, serta lelaki selingkuhan yang memicu perselisihan.
Hasutan-hasutan dari orang lain inilah yang kemudian pada akhirnya membuat rumah tangga Suminta dan Mini hancur, rasa sayang yang telah mereka bangun selama lima tahun harus pudar karena ada orang lain.
B. Semiotika Sastra
Semiotic berasal dari kata Yunani “semion”, yang berarti tanda. Semiotic adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Van Zoest, 1993 :1). Lebih lanjut Preminger (Pradopo, 2003 : 19) semiotic itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002 : 40).
Semiotic memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda, yakni konsep semiotic Saussure dan konsep semiotic Peierce. Menurut Saussure, bahasa merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak terpisahkan, signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Namun dalam analisis ini yang akan digunakan adalah konsep semiotic Peierce konsep semiotic Saussure lebih menekankan pada kebahasaan sedangkan yang menjadi objek analisis adalah drama sebagai pertunjukan.
Peierce (Ratna, 2004 : 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadic ;
1. Representament,
ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut Van Zoest (1993
: 18-19) adalah :
1. Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat.
2. Sinsigns
Sinsigns ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam
kenyataan.
3. Legisigns
Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan
yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode.
2. Objek
(designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda
dengan denotatum yaitu :
1. Ikon
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam :
§ Ikon
topografis, berdasarkan persamaan tata ruang.
§ Ikon
diagramatis, berdasarkan persamaan struktur.
§ Ikon
metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan.
2. Indeks
Indeks adalah hubungan tanda dan objek karena seab akibat.
3. Symbol
Symbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak
bersifat alamiah.
3. Interpretant,
tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Hubungan antara tanda dan
interpretan oleh Peirce dalam Van Zoest (1993 : 29) dibagi menjadi tiga macam :
1. Rheme,
tanda sebagai kemungkinan : konsep
Contoh : “Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’
atau ‘cerdas’, tanda itu diberikan denotatum dan dapat diinterpretasikan.
2. Decisigns,
dicent signs, tanda sebagai fakta : pernyataan deskriptif.
Contoh : “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan
decisigns.
3. Argument,
tanda sebagai nalar : proposisi.
C. Semiotika Unsur-Unsur Drama Sebagai Pertunjukan
1. Sutradara
Tidak banyak perubahan yang dilakukan oleh sutradara dalam pertunjukan drama
ini bila dibandingkan dengan teks drama asli, sedikit perbedaan hanya nampak
pada tokoh Hamid yang dalam teks aslinya dicirikan sebagai seseorang yang
bertubuh gemuk namun dalam pertunjukan diperankan oleh actor yang bertubuh
kurus. Namun hal ini tidak terlalu mempengaruhi esensi cerita yang ingin
disampaikan kepada penonton.Koordinasi masing-masing perangkat dasar dalam sebuah pertunjukan juga telah ditangani dengan baik oleh sutradara, hal ini bisa dilihat dari kesesuaian dan keserasian antara tata busana, tata rias, dekorasi, tata lampu dan lainnya yang saling menunjang dalam sebuah pertunjukan.
2. Pemain
(actor)
Banyak tanda maupun penanda yang dapat ditemukan dari masing-masing pemain
saat memerankan tokoh-tokoh dalam drama ini, seperti adanya qualisigns
yang ditunjukkan dengan baju putih-putih pada tokoh Haji Sali yang menegaskan
karakter tokoh yang taat beribadah, dan selalu memegang tinggi norma-norma
agama. Pemakaian baju warna hitam-putih pada tokos Suminta juga menguatkan
karakter polos serta mudah terpengaruh sehingga sering membuat bingung dan
selalu pesimis dalam memandang hidup. Berbeda dengan tokoh Hamid yang dari
pendar cahaya pada mata ikat pingangnya saja sudah memberikan arti bahwa ia
adalah laki-laki yang selalu memandang hidup dengan optimis.Sinsigns juga tampak pada tawa meledak-ledak pada tokoh laki-laki selingkuhan Mini yang menunjukkan watak diri yang liar dan tak terkendali, memandang rendah orang lain serta menganggap apa yang dia kehendaki akan dapat ia miliki. Tangis pada Mini sejak pertengahan babak hingga akhir juga merupakan sinsigns yeng menunjukkan lemah serta rapuhnya iman serta pendirian dia sebagai perempuan yang begitu mencintai suaminya.
Seringnya Suminta mengangkat bahu dan tangannya saat berdialog, mencekik, menunjuk, serta melempar makanan ke lantai adalah merupakan suatu legisigns yang memberikan arti kebingungan, kecemasan, serta amarah yang sering muncul hingga berbuntut rasa putus asa yang mendalam.
Banyak dialog-dialog pada diri Suminta sebagai tokoh utama dalam drama ini yang merupakan argument, seperti salah satu dialognya ; “masing-masing kita memiliki kebenaran yang berbeda bagi pihak lain”. Selain itu keberadaan decisigns pada dialog Suminta juga terlihat pada dialognya ; “mengapa kita bukan anjing”.
Beberapa rheme juga terdapat pada dialog-dialog Suminta, yakni beberapa diantaranya ; “aku jadi bertanya, siapa diantara kita yang mesti menghilang” kata “menghilang” di sini merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘mati’. Seperti juga pada dialog ; “karena itu aku harus menghapuskan diriku sendiri” dimana kata “menghapus’ juga merupakan tanda yang sama dengan ‘mati’.
Yang menarik adalah adanya retorika yakni penekanan berulang-ulang dialog tokoh Haji Salim (repetisi) dimana pada setiap kemunculannya pasti pada akhirnya akan mengatakan “Minta, nanti aku kembali lagi” yang memberikan arti bahwa masalah-masalah yang harus dihadapi keluarga Suminta dan Mini pasti akan datang dan kembali (terus berulang).
3. Tata
Panggung
Bentuk panggung yang sifatnya in door dibuat menyerupai suasana
rumah sempit di pinggiran kota yang hanya dihiasi dengan perabotan usang dan
minimalis. Keberadaan dua buah kursi di tengah-tengah ruangan beserta satu
mejanya menunjukkan kesederhanaan kehidupan sang pemilik rumah. Yang juga perlu
diperhatikan adalah keberadaan tempat menjemur pakaian yang berada di dalam
ruangan. Baju-baju bahkan pakaian dalam yang tergantung pada jemuran tersebut
secara logika tidak akan pernah kering jika penempatan jemuran berada di dalam
ruangan. Hal ini menggambarkan bagaimana penderitaan, permasalahan serta
cobaan-cobaan yang menimpa keluarga sederhana ini tidak akan pernah surut dan
kering seperti yang tergambar pada baju-baju yang tergantung pada jemuran yang
takkan pernah kering karena berada di dalam ruangan.
4. Tata
musik
Masing-masing tokoh seakan-akan memiliki background musik yang
berbeda-beda, ini dikarenakan penggunaan beberapa alat musik yang beragam mulai
dari gitar, piano, biola, hingga perkusi yang masing-masing memiliki kekhasan
tersendiri, terlebih karena penataan musik dalam pertunjukan ini dilakukan
secara live dan bukan hasil rekaman, jadi memungkinkan bagian musik
yang mengiringi pertunjukan dapat melakukan improvisasi nada sesuai dengan
keadaan sebenarnya di panggung.Perpaduan antara nada gitar dan perkusi misalnya, menjadi sebuah tanda ketika sampainya pertunjukan pada klimaks yang diketahui dari kuat lemahnya tekanan pada “genjreng” gitar maupun “tepukan” pada bibir perkusi. Iringan nada-nada biola yang mengalun dengan lembut juga menjadi tanda ketika suasana sedih mulai terasa.
5. Tata
lampu
Pada bagian akhir pertunjukan, yakni ketika tokoh Suminta meninggalkan rumah
maka tinggallah Mini, istrinya sendiri dalam rumah. Sambil menangis, Mini
berjalan dibelakang suaminya yang bergegas pergi sambil menangis meski tak
mampu mencegah kepergiannya hingga di mulut pintu Mini menjatuhkan diri ke
lantai dan saat itu juga suasana menjadi redup ditandai dengan dimatikannya
lampu cahaya umum, yakni lampu yang memiliki cahaya yang memencar, yang
menerangi seluruh bagian panggung. Pada saat yang bersamaan juga Lekolites
(lampu spot yang menggunakan reflector ‘ellipsoidal’ dan lensa “plano-konvex’
yang memiliki cahaya menyatu tajam) dari keempat sudut panggung mulai menyala
dan mengarah pada tempat di mana Mini menjatuhkan diri. Maka yang tampak di
panggung saat itu adalah gelap yang hanya disibak oleh sorot lampu pada Mini
yang menangis. Permainan intensitas cahaya ini menjadi tanda gelapnya suasana
panggung segelap hati Mini yang teramat sunyi.Pada bagian di balik background panggung yang berwarna hitam terdapat nyala Frenellites yang memang sekilas tidak mengganggu pandangan, justru bila dari kejauhan akan menambah keindahan panggung yang nyalanya seakan-akan seperti nyala bulan, apalagi posisinya terletak di bagian atas, sedikit diatas batas dinding. Namun perlu diingat juga karena pertunjukan ini menggunakan setting waktu siang hari sehingga kesan nyala bulan dirasa kurang cocok.
6. Tata
busana
Penggunaan busana motif warna-warni mencolok pada tokoh Sum telah menguatkan
arti dari segi psikologis yang menunjukkan hedonisme, keceriaan dan kewibawaan
layaknya kaum borjuis. Berbeda dengan busana yang dipakai oleh tokoh Mini yang
meski nampak anggun namun pemilihan warna coklat gelap bermotif bunga
menunjukkan bahwa ada kesedihan, kemurungan, serta sesuatu yang disembunyikan
di balik dirinya. Selanjutnya busana kaos dan sarung pada tokoh Suminta cukup
menunjukkan kesederhanaan, begitupula pada busana yang dikenakan oleh
tokoh-tokoh yang lain. Pada intinya hanya permainan warna yang menunjukkan
qualisigns pada masing-masing tokoh seperti juga warna putih pada busana Haji
Salim yang menunjukkan kesucian dan warna putih pada baju Suminta yang juga
menunjukkan kepolosan yang dipadu dengan bawahan warna hitam menunjuk pada
sebuah sikap plin-plan pada akhirnya.
7. Tata
rias
Ada dua jenis make-up yang digunakan dalam pertunjukan ini, yaitu make-up
apa adanya dan make-up perwatakan. Jenis make-up apa adanya diberikan kepada
hampir seluruh tokoh, hal ini dikarenakan telah terjadi kesesuaian sebelumnya
antara karakter asli yang dimiliki oleh actor dengan karakter yang harus
dimainkan. Make-up paling mencolok hanya terlihat pada tokoh Haji Salim yang
menggunakan jenis make-up perwatakan yang dimaksudkan untuk mempertegas
garis-garis dasar karakter sehingga penonton dapat melihat actor yang jauh
lebih wajar.
8. Perlengkapan
Pada bagian trim property nampak pemasangan lukisan-lukisan pada
dinding rumah “bambu” yang terlihat kontras seakan ingin menunjukkan bahwa seni
berawal dari sebuah kesederhanaan.Pada bagian hand property juga korelasi dengan bagian tata lampu yang apik diperlihatkan dengan pendar cahaya pada property pisau yang diakibatkan karena permainan plot cahaya dari lampu cahaya campuran. Sehingga mampu memberi arti pada property pisau yang digunakan sebagai jalan untuk menghilang dari kebenaran yang berbeda bagi masing-masing orang.
D. Penutup
Dalam setiap pertunjukan drama selalu ada tanda-tanda yang dapat dianalisa dengan semiotika, tanda-tanda ini yang dapat menjadi penunjang pemahaman penikmat drama yang dapat digali dengn cara yang berbeda-beda sesuai dengan konsep pemahaman dari masing-masing individu yang berbeda pula. Namun sebenarnya perbedaan pemahaman inilah yang justru menambah nilai keindahan suatu drama sebagai pertunjukan.
Daftar Rujukan
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.Indarti, Titik. 2004. Memahami Drama Sebagai Teks Sastra dan Pertunjukan. Surabaya : Unesa University Press
Van Zoest, Art. 1993. Semiotika : tentang tanda, cara kerjanya dan apa yang kita lakukan dengannya (terjemahan Ani Soekawati). Jakarta : Yayasan Sumber Agung.
Komentar
Posting Komentar