PERISTIWA MANDOR DI KALIMANTAN BARAT
Kedatangan Jepang Ke Kalimantan Barat
Sebagai salah satu negara beraliran
fasis, Jepang bermaksud menguasai negara-negara yang mempunyai nilai strategis
bagi kepentingan Jepang terutama negara yang banyak menghasilkan sumber daya
alam seperti minyak dan batubara. Untuk melaksanakan maksudnya, pertama-tama
Jepang menguasai wilayah Manchuria di China pada tahun 1931. Selanjutnya Jepang
membuka front dengan Amerika Serikat melalui serangannya ke pangkalan militer
Pearl Harbour milik Angkatan Laut Amerika Serikat di Hawaii tanggal 7 Desember
1941. Keberhasilan Jepang atas serangan ke Pearl Harbour membuka peluang untuk
menaklukkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Jepang memperkirakan bahwa
dengan lumpuhnya pusat kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour
akan memudahkan Jepang menguasai wilayah Asia Pasifik yang menjadi daerah
incarannya. Pemerintah Jepang secara resmi mengumumkan Perang Asia Timur Raya
melalui Perdana Menteri Hideki Tojo (Mawardi Rivai, 1978 : 23).
Serangan Jepang ke Pearl Harbour mendapat
tanggapan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer
di Batavia. Ia segera memerintahkan Residen Pontianak V.D. Zwaal dan Komandan
Militer Hindia Belanda di Pontianak Vasqua untuk bersiap-siap menghadapi
kedatangan Jepang di Kalimantan Barat. Perintah Gubernur Jenderal segera
ditanggapi V.D. Zwaal dan Vasqua dengan membentuk milisi-milisi rakyat diseluruh
Kalimantan Barat guna membantu tentara KNIL Belanda mengadapi tentara Jepang
apabila menyerang. Namun pembentukan milisi rakyat ini tidak mendapat dukungan
sepenuhnya dari rakyat dan hanya masyarakat keturunan Cina saja yang mau
bergabung menjadi anggota milisi. Pada saat itu mulai dikenal ABCD Front
(America, British, Cina and Deutch Front) sebagai kelompok penentang Jepang.
Ekspansi Jepang ke
Kalimantan Barat dimulai dengan serangan Angkatan Udara ke kota Pontianak pada
hari Jum’at siang tanggal 19 Desember 1941. Militer Jepang menyerang kota
Pontianak dengan sembilan buah pesawat pembom jenis A6M2 Zero, mengakibatkan
sejumlah korban tewas dan luka-luka serta menghancurkan sejumlah bangunan.
Peristiwa tersebut dikenal sebagai peristiwa ”kapal terbang sembilan”.
Selanjutnya Jepang menyerang kembali kota Pontianak dan sekitarnya pada tanggal
22 dan 27 Desember 1941 (Machroes Effendy, 1982 : 53). Selain membom kota
Pontianak, pesawat-pesawat Jepang juga membom daerah Paloh, Sambas dan
Mempawah.
Pasukan KNIL Belanda yang
dibantu oleh milisi rakyat tidak dapat berbuat banyak menghadapi serangan udara
Jepang. Pangkalan angkatan udara Hindia Belanda di Sanggau Ledo dapat direbut
Jepang pada tanggal 27 Desember 1941. Setelah memberikan kejutan melalui
serangan udara, Jepang kemudian mendaratkan tentaranya di Pemangkat pada akhir
Desember 1941. Inilah pendaratan pertama tentara Jepang di Kalimantan Barat.
Pasukan yang mendarat adalah dari angkatan darat (Rikugun) Jepang yang bertugas
menduduki daerah Kalimantan Barat (Sudarto, dkk, 1986 : 65), disusul oleh
pasukan angkatan laut dalam jumlah yang lebih besar. Berikutnya pendaratan
pasukan Jepang secara besar-besaran di Pemangkat, Singkawang dan Ketapang
terjadi pada tanggal 22 Januari 1942 (Pemda Tk. I Kalbar, 1991 : 74). Pasukan
Jepang yang mendarat secara bertahap menguasai daerah-daerah di seluruh
Kalimantan Barat. Pada tanggal 2 Februari 1942 kota Pontianak diduduki angkatan
darat Jepang. Tentara KNIL Belanda gagal membendung serbuan Jepang karena kalah
dalam hal jumlah pasukan dan persenjataan.
Pendudukan Jepang Di Kalimantan Barat
Pada pertengahan bulan
Juli 1942 terjadi peralihan kekuasaan atas wilayah Kalimantan Barat dari
angkatan darat (Rikugun) kepada pihak angkatan laut (Kaigun) Jepang. Wilayah
Kalimantan Barat ditetapkan berada di bawah kekuasaan Armada Selatan II
Angkatan Laut Jepang yang berpusat di Makassar (Syafaruddin, 2007 : 8). Untuk melanggengkan kekuasaannya di
Kalimantan Barat, Jepang membubarkan segala organisasi atau perkumpulan
terutama yang berbau politik. Jepang takut apabila organisasi atau perkumpulan
itu digunakan sebagai alat untuk menentang kekuasaan Jepang di Kalimantan
Barat. Dengan adanya larangan itu, para tokoh pemuda dan pergerakan di
Kalimantan Barat yang sebelumnya sudah aktif dalam organisasi pergerakan
kemudian melakukan pendekatan kepada pemerintah Jepang di Pontianak untuk
mendirikan sebuah perkumpulan pemuda. Atas izin Syuuzityo Minseibu (Residen
Kalimantan Barat) dan sejumlah perwira angkatan laut Jepang di Kalimantan Barat
maka lahirlah organisasi Nissinkai. Melalui organisasi Nissinkai, para pemuda
pergerakan sering mengadakan rapat-rapat rahasia untuk menyusun rencana
menentang Jepang.
Dalam organisasi Nissinkai
terdapat sejumlah tokoh berpengaruh di Kalimantan Barat seperti Raden Panji
Mohammad Dzubeir Noto Soedjono (mantan pengurus Parindra), Gusti Sulung
Lelanang dan Ya’ Sabran (keduanya aktifis PAB), dokter Roebini, dan lain
sebagainya. Para tokoh pergerakan mengadakan pendekatan dengan berbagai kalangan
berpengaruh dari terhadap para Sultan dan Panembahan yang ada di Kalimantan
Barat. Selain itu mereka juga mendekati konglomerat Cina yang ada di Kalimantan
Barat untuk ikut mendanai perjuangan menentang Jepang di Kalimantan Barat. Akibat
dari adanya gerakan bawah tanah menentang Jepang itu, di beberapa tempat di
Kalimantan Barat terjadi huru-hara menentang pendudukan Jepang. Para pemuda
yang semula mendapat didikan semi-militer melalui Seinendan, Keibodan dan Heiho
berbalik arah melawan Jepang (Syafaruddin, 2007 : 12-13).
Menyikapi adanya huru-hara
tersebut, tentara pendudukan Jepang di Kalimantan Barat akhirnya mengambil
tindakan terhadap orang-orang dan kelompok-kelompok yang dinilai melawan
pendudukan Jepang di Kalimantan Barat. Jepang melakukan penculikan, penangkapan
dan pembunuhan terhadap rakyat Kalimantan Barat yang dicurigai menentang Jepang.
Peristiwa itu terjadi pada kurun waktu antara tahun 1942 sampai dengan 1944.
Peristiwa itu dikenal sebagai Peristiwa Mandor karena daerah Mandor menjadi
sentral tempat eksekusi dan penguburan massal orang-orang yang dibunuh Jepang
di Kalimantan Barat. Orang-orang yang menjadi korban pembunuhan Jepang terdiri
dari tokoh-tokoh masyarakat, seperti para Sultan dan Panembahan kerajaan yang
ada di Kalimantan Barat, tokoh pemuda dan pergerakan, kaum cerdik pandai,
guru-guru, dokter, pedagang sukses, konglomerat dan lain-lainnya.
Pelaku
penculikan, penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang ada di Kalimantan Barat
sebagian besar dilakukan oleh Tokkeitai (Polisi Rahasia) Angkatan Laut Jepang
(Kaigun) yang bertugas mengamankan daerah Kalimantan Barat. Mereka dengan
leluasa melakukan penculikan dan pembunuhan dengan cara-cara penjemputan
terhadap para korban untuk kemudian disungkup atau ditutup kepalanya
menggunakan kain, karung atau yang lainnya, sehingga dikenal sebagai peristiwa
penyungkupan. Orang-orang yang disungkup oleh Tokkeitai hampir dipastikan akan
melayang nyawanya karena jarang sekali korban yang disungkup itu bisa kembali
ke rumah atau asalnya. Hal ini menimbulkan rasa sedih yang luar biasa bagi
keluarga korban yang disungkup.
Para Sultan dan Panembahan
kerajaan yang ada di Kalimantan Barat adalah termasuk yang menjadi korban
pembunuhan Jepang. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 April 1943, dimana
pada waktu itu Jepang menangkap para tokoh organisasi Nissinkai karena
dicurigai melakukan gerakan bawah tanah untuk menentang Jepang. Mereka ditangkap
dan dibunuh setela mengikuti rapat Nissinkai pada tanggal 14 April 1943, yang
dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda pergerakan termasuk ke-12 penguasa kerajaan
lokal yang ada di Kalimantan Barat. Jepang menangkap hampir semua peserta rapat
termasuk 12 penguasa lokal di Kalimantan Barat. Jepang menangkap para penguasa
lokal itu pada tanggal 23 April 1943 dikediaman masing-masing. Penguasa lokal
yang menjadi korban antara lain Syarif Muhammad Al Qadri (Sultan Kerajaan
Pontianak), Muhammad Ibrahim Tsafiuddin (Panembahan Kerajaan Sambas), Gusti
Abdul Hamid (Panembahan Kerajaan Ngabang), Ade Muhammad Arief (Panembahan
Kerajaan Sanggau), Gusti Dja’far (Panembahan Kerajaan Tayan), Abdoel Bari Danoe
Perdana (Panembahan Kerajaan Sntang), Gusti Mesir (Panembahan Kerajaan
Simpang), Gusti Kelip (Panembahan Kerajaan Sekadau), Syarif Saleh Al Idrus
(Panembahan Kerajaan Kubu) dan lainnya. Selain ITU, Jepang juga menangkap
anggota keluarga kerajaan yang dianggap berbahaya bagi kedudukan Jepang di
Kalimantan Barat.
Sedangkan para tokoh
pemuda pergerakan yang menjadi korban keganasan Jepang antara lain dokter Roebini
(Kepala Rumah Sakit Umum Sei jawi Pontianak), J.E. Pattiasina, Loemban Pea,
Panangian Harahap, Notosoedjono, Ng. Nyiap Soen, Ahmad Maidin dan lain-lain (Mawardi
Rivai, 1978 : 20-21). Dalam koran yang terbit di Pontianak pada jaman Jepang
yaitu Borneo Shinbun, pada edisi 28 Rokugatu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944
memberitakan bahwa telah terjadi eksekusi mati secara massal terhadap
orang-orang yang dianggap Jepang akan menentang kedudukannya di Kalimantan
Barat (Syafaruddin, 2007 : 17).
Pembunuhan yang dilakukan
Jepang dilakukan dibeberapa tempat, akan tetapi yang terbesar ada di desa
Kopyang Mandor yang letaknya ± 80 Km dari kota Pontianak. Jumlah seluruh korban
yang dimakamkan di Mandor cukup besar, namun sampai saat ini belum diketahui
secara pasti (Pemprov Kalbar, 1991 : 88). Dari pengakuan Kapten Yamamoto, bekas
Polisi Rahasia Jepang di Pontianak, sewaktu diadili sebagai penjahat perang
pada peradilan NICA/Belanda di Pontianak mengatakan bahwa target penangkapan
dan pembunuhan di Kalimantan Barat sebanyak 50.000 orang. Sumber lain dari
pihak Jepang menyebutkan jumlah korban mencapai 20.000 orang (Kompas, edisi
tanggal 5 November 1982, XII. kol 1.). Kemudian dari seorang Jepang yang pernah
bertugas di Kalimantan Barat mengatakan bahwa jumlah korban sekitar 21.000
orang. Sumber lain dari Kiyotada Takahashi, yang juga pernah bertugas di
Kalimantan Barat menyatakan jumlah korban mencapai 21.037 orang. Pemerintah
Daerah Provinsi Kalimantan Barat sendiri menetapkan jumlah korban 21.037 orang
berdasarkan sumber Kiyotada Takahashi.
Monumen Makam Juang Mandor
Untuk
mengenang para Sultan, Panembahan, tokoh pergerakan dan lainnya yang menjadi
korban pembunuhan Jepang di Kalimantan Barat, Pemerintah Daerah Tingkat I
Kalimantan Barat mendirikan sebuah monumen di Mandor sebagai simbol adanya
perjuangan dan perlawanan rakyat terhadap Jepang di Kalimantan Barat. Pada
tahun 1977 Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Barat membangun sebuah
monumen di Mandor. Kompleks monumen tersebut dilengkapi dengan plaza yang luas.
Di sisi kiri-kanan monumen dibuat dinding beton, masing-masing berukuran 15 x
2,5 meter berhiaskan relief pendudukan Jepang di Kalimantan Barat. Monumen ini
diarsiteki Ir. M. Said Dja’far dan desain relief dibuat oleh seniman lukis
Kalimantan Barat Syekh Abdul Aziz Yusnian. Di kompleks monumen Mandor terdapat
10 cungkup kuburan massal. Cungkup yang paling kecil ukurannya 15 x 6 meter,
sedangkan yang terluas yaitu makam nomor lima yang berukuran 40 x 6 meter.
Jarak antar makam di komples monumen Mandor ± 200 meter. Monumen tersebut
diresmikan bersamaan dengan kegiatan ziarah masal pada 28 juni 1977 dan diberi
nama Monumen Makam Juang Mandor.
Selanjutnya untuk lebih
menghargai dan menanamkan rasa cinta pada bangsa dan negara, disamping juga
untuk mengenang peristiwa Mandor, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat melalui
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 menetapkan tanggal 28 Juni sebagai
Hari Berkabung Daerah (HBD) Kalimantan Barat. Dengan terbitnya Perda tersebut
maka mulai tahun 2007, setiap tanggal 28 Juni dilakukan pengibaran bendera
setengah tiang.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy,
Machroes, 1982, Sejarah Perjuangan
Kalimantan Barat, tp. Pontianak.
Pemda Tingkat I Kalbar,
1991, Sejarah Perjuangan Rakyat
Kalimantan Barat 1908-1950, Pontianak.
Rivai, Mawardi,
1978, Peristiwa Mandor, Jakarta:
Pustaka Antara.
Soedarto, Drs.
Dkk, 1986, Peta Sejarah Provinsi
Kalimantan Barat, Jakarta: Depdikbud.
Usman, Syafaruddin, 2007, Mozaik Sejarah : Denyut Nadi Revolusi
Kemerdekaan Indonesia Di Kalimantan Barat (1945-1950), Pontianak: Korem
121/ABW Pontianak.
Komentar
Posting Komentar