makalah-sejarah majapahit

MAJAPAHIT :
KERAJAAN AGRARIS - MARITIM DI NUSANTARA
Oleh : Agus Aris Munandar
Universitas Indonensia
Abstrak :
Meskipun Indonesia merupakan kawasan maritim dan agraris
namun keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional
berlangsung bertahap beriringan dengan perkembangan dan
terbentukanya jaringan pelayaran yang terbentuk secara berantai.Dengan
cara ini berbagai pertanian Indonesia secara bertahap menjadi komoditas
internasional pada abad XIII, yaitu rempah-rempah. Apalagi setelah
berbagai masalah internal masing-masing kerajaan dapat diselesaikan.
Aktivitas itu mengalami perkembangan pesat pada abad XIV-XVI, dan
mencapai puncaknya pada abad-abad berikutnya hingga mengundang
dan melibatkan bangsa-bangsa dari Barat. Sejak itu Indonesia baik
secara agraris maupun maritim terlibat dalam jaringan perdagangan
internasional secara penuh. Dalam intensitas demikian salah satu
instrumen yang sangat diperlukan adalah kapal.
Kata-kata kunci : Indonesia, agraris-maritim, dan perdagangan internasional.
Dalam berbagai sumber yang tersedia tentang Majapahit, dapat diketahui
bahwa kerajaan tersebut memang merupakan kerajaan yang bertumpu kepada
aktivitas pertanian. Banyak prasasti yang membicarakan tentang penetapan sima
atau daerah perdikan, yaitu daerah yang dilarang dimasuki oleh para penikmat
kekayaan raja (mangilala drwya haji) istilah yang ditujukan bagi para pejabat
atau pegawai kerajaan yang dibayar oleh raja. Berdasarkan nama-nama jabatan
para pegawai kerajaan saja dapat diketahui bahwa kerajaan-kerajaan Jawa Kuno
sejak zaman Mataram di Jawa bagian tengah hingga era Majapahit di Jawa
bagian timur adalah kerajaan agraris. Jabatan-jabatan seperti wilang thani
(petugas sensus penduduk desa), air haji (penjaga mata air milik raja), pulung
padi (pemungut pajak padi), pangalasan (petugas kehutanan), pawdus (petugas
peternakan kambing), pakbo (petugas peternakan kerbau), papuyuh (penangkap
burung buyuh), patangkalan (petugas pencacah tanam-tanaman penting), dan lain
sebagainya, menunjukkan bahwa pejabat-pejabat tersebut banyak bergerak di
bidang agraris.
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Kertarajasa Jayawarddhana dalam
tahun 1293 M, sebenarnya merupakan kelanjutan dari Singhasari. Sebagaimana
diketahui dari kitab Pararaton dan didukung oleh berita kakawin
Nagarakrtagama, pendiri Singhasari adalah Ken Angrok yang bergelar Sri
Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwabhummi. Ken Angrok adalah seorang
anak desa, ibunya adalah petani yang bernama Ken Endok yang diperkosa oleh
Dewa Brahma (sang pencipta) di ladang Lalateng, demikian menurut Pararaton
memberikan legitimasi bahwa Ken Angrok memang punya kelebihan sebagai
anak dewa. Dengan demikian Ken Angrok sebenarnya anak orang biasa yang
karena kejadian-kejadian luar biasa ia dapat menjadi orang nomor satu di
Tumapel dan akhirnya mendirikan Singhasari menggantikan peranan raja-raja
Kadiri yang sudah mulai pudar di awal abad ke-13. Raja-raja Singhasari dan
Majapahit sebenarnya anggota satu dinasti, yaitu Rajasawangsa, mereka
mempunyai leluhur yang sama, yaitu Ranggah Rajasa alias Ken Angrok.
Dalam perkembangannya baik Singhasari (abad ke-13 M) ataupun
Majapahit (abad ke-14 s.d 15 M) lebih banyak disibukkan dengan urusan internal
di wilayah Jawa Timur. Menurut prasasati Mula-Malurung (1255 M) terdapat
beberapa negara daerah yang rajanya dibawah pemerintahan Krtanagara atau
Nararyya Murddhaja. Nagara atau kota-kota di daerah tersebut adalah Morono,
Lwa, Lamajang, Hring, Kadiri dan Glang-glang yang semuanya berada di
wilayah Jawa bagian timur. Hanya satu wilayah Singhasari yang berada di luar
Jawa, yaitu Pulau Madura dengan ibu kotanya di Sungeneb/Sumenep (Munandar
1986 : 4-5). Semua negara daerah di Jawa bagian timur itu sejatinya berada di
sekitar pedalaman yang subur, di sekitar daerah aliran Sungai Brantas, di lerenglereng
gunung, dan dataran persawahan yang luas membentang.
Negara daerah Singhasari yang jelas memiliki lahan aktivitas yang subur
adalah Lamajang (Lumajang) di selatan Gunung Semeru, Kadiri dan Lwa di
daerah aliran Sungai Brantas, dan Glang-glang di wilayah Wurawan berada di
sebelah barat Gunung Wilis. Adapun Singhasari sendiri berada di dataran tinggi
Malang yang subur untuk sawah dan bercocok tanam palawija, sayur mayur, dan
buah-buahan hingga dewasa ini. Dalam masa Majapahit jumlah negara daerah
tersebut semakin banyak, menurut uraian Prasasti Waringin Pitu (1369 Saka/1447
M) yang dikeluarkan oleh raja Wijayaparakramawarddhana (Dyah Krtawijaya)
terdapat sekitar 14 negara daerah yang berada di wilayah inti Majapahit, yaitu
Jawa bagian timur. Negara daerah zaman Majapahit tersebut adalah (1) Daha, (2)
Jagaraga, (3) Kahuripan, (4) Tanjungpura, (5) Pajang, (6) Kembang Jenar, (7)
Wengker, (8) Kabalan, (9) Tumapel, (10) Singapura, (11) Matahun, (12)
Wirabhumi, (13) Keling, dan (14) Kalinggapura (Yamin 1962: 193-199). Pada
masa Majapahit sudah terdapat negara daerah yang berada di daerah pantai utara
Jawa bagian timur selain di pedalamannya juga. Hal itu menunjukan bahwa
hubungan Majapahit dengan daerah-daerah lain di luar Jawa semakin
berkembang, perhatian Majapahit pada daerah luar Jawa meningkat karena
berbagai argumen internal atau pun eksternal. Perhatian ke luar Jawa itu tentunya
merupakan aktivitas maritim dengan berbagai sistemnya.
Dalam hal kegiatan agraris penduduk Majapahit tetap melaksanakannya,
walaupun menjelang keruntuhannya masyarakat Majapahit selalu terganggu oleh
berbagai peperangan perebutan kekuasaan. Kedua aspek kehidupan itulah yang
akan diperbincangkan lebih lanjut dalam kajian ini, karena Majapahit memang
mempunyai bukti-bukti sebagai kerajaan agraris yang maritim, artinya Majapahit
juga meluaskan cakrawala kekuasaannya tidak semata-mata di dalam Pulau Jawa,
namun juga keluar Jawa.
Setelah panen menjelang musim kemarau, Rajasanagara (Hayam Wuruk)
mengadakan perjalanan ke daerah Jawa Timur yang menjadi inti wilayah
Majapahit pada tahun-tahun tertentu dalam masa pemerintahannya. Menurut
uraian Nagarakrtagama Hayam Wuruk dan rombongannya dalam tahun 1353
mengadakan perjalanan ke daerah Pajang, tahun 1354 perjalanan ke pantai Lasem.
Pada tahun 1357 Hayam Wuruk mengadakan perjalanan menuju ke pantai selatan,
dan di tahun yang sama terjadi peristiwa Pasunda-Bubat.
Tahun 1359 Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Lamajang yang
merupakan rute paling panjang. Perjalanan ke Lamajang inilah yang diuraikan
secara panjang lebar dalam Nagarakrtagama. Tahun 1360 perjalanan ke Tarib
dan Sampur. Tahun 1361 perjalanan ke Rabut Palah (kompleks Candi Panataran),
merupakan candi kerajaan Majapahit. Tahun 1362 Hayam Wuruk memenuhi titah
ibunya untuk mengadakan upacara sraddha bagi neneknya Rajapatni Gayatri.
Merupakan upacara yang meriah dan diakhiri dengan meletakkan arca
Prajñaparamita di Candi Prajñaparamitapuri di Bhayanglango. Tahun 1363
Hayam Wuruk mengadakan perjalanan ke Simping (Sumberjati), meresmikan
bangunan candi yang konon baru dipindahkan ke lokasi baru. Candi tersebut
dibangun untuk memuliakan eyang Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya
(Krtarajasa Jayawarddhana).
Pada setiap perjalanan tersebut Hayam Wuruk selalu dinyatakan oleh
Mpu Prapanca melewati kampung-kampung, dan pesawahan penduduk. Dalam
Nagarakrtagama mengesankan bahwa kehidupan masyarakat Majapahit pada
waktu itu sangat sejahtera, rakyat di desa-desa berdesak-desak di tepi jalan untuk
menonton rombongan rajanya lewat. Di tempat-tempat penghentian dalam
perjalanan tersebut Hayam Wuruk dan rombongannya selalu disambut dengan
suka cita oleh penduduk setempat, makanan disediakan cukup berlimpah, dan
bermacam hiburan yang ada dipertunjukkan kepada rombongan raja Hayam
Wuruk.
Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan yang berkunjung ke
Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk, dapat diketahui bahwa
kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju.
Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut : Di Majapahit
udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi 2
kali setahun, padinya kecil-kecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah
jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu
menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah
panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak.
Burungnya aneh-aneh, ada nuri sebesar ayam dengan aneka warna merah, hijau,
dan sebagainya. Beo yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang,
kakatua, merak, dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan
kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan
angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima,
manggis, langsap, semangka, dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai.
Penduduk di pantai utara di kota-kota pelabuhan seperti Gresik, Tuban,
Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan
tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India,
Asia Tenggara, dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan
tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap, penduduk anak negeri datang ke
kota-kota tersebut untuk berdagang
Laporan Ma Huan selanjutnya menyatakan bahwa ibu kota Majapahit
berpenduduk sekitar 200-300 keluarga, suatu angka cukup besar untuk zaman itu.
Penduduk telah memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan
diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap laki-laki mulai yang anak
yang berumur 3 tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mereka
mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah, terbuat dari
emas, cula badak, atau gading. Kerapkali apabila mereka bertengkar, maka
dengan cepat masing-masing telah siap dengan kerisnya. Pantangan bagi
penduduk Jawa adalah memegang kepala orang lain, karena hal itu merupakan
penghinaan dan akan menimbulkan perkelahian berdarah.
Mereka duduk di rumahnya tidak menggunakan bangku, tidur tanpa
memakai ranjang, dan makan tanpa memakai sumpit. Sepanjang hari mereka
senang memakan sirih, baik laki-laki atau pun perempuan, apabila ada tamu
datang yang disuguhkan bukannya teh, melainkan siring dan pinang. Atas titah
raja, orang Majapahit juga senang mengadakan pertandingan dengan
menggunakan tombak bambu. Apabila ada yang meninggal karena tertusuk
tombak bambu itu si pemenang wajib memberikan uang kepada keluarga korban.
Apabila bulan terang, terutama purnama, mereka senang bermain bersama. Para
perempuan membentuk kelompok sebanyak 20 sampai 30 orang. Seorang wanita
memimpin di depan dan mereka semua bergandengan tangan berjalan di bawah
bulan purnama. Wanita pemimpin menyanyikan lagu-lagu yang kemudian diikuti
oleh seluruh rombongannya. Mereka berkunung ke rumah-rumah orang kaya atau
para pejabat kerajaan, mereka mendapat hadiah berupa uang logam tembaga,
emas atau hadiah lainnya. Kesenian lain yang populer adalah bentuk cerita
Wayang Beber, yaitu kisah wayang yang dilukiskan pada kain yang direntangkan
(beber) kemudian sang dalang menceritakan adegan-adegan yang digambarkan
tersebut.
Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya, mereka suka membeli
batu-batu perhiasan yang bermutu, barang pecah belah dari porselin Cina dengan
gambar bunga-bungaan berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi,
kain sutra, katun yang baik dengan motif hiasan ataupun yang polos, mereka
membayar dengan uang tembaga Majapahit, uang tembaga Cina dari dinasti
apapun laku di kerajaan Majapahit (Groeneveldt 2009: 67-9).
Majapahit mengembangkan kegiatan agraris adalah hal yang sudah wajar, karena
kerajaan itu berada di Pulau Jawa yang subur. Jika dicermati secara lebih
mendalam, terdapat beberapa alasan konsepsual-religius yang agaknya dijadikan
referensi oleh raja dan masyarakat Klasik sejak zaman Mataram hingga Kadiri
mengembangkan kerajaan bercorak agraris. Alasan itu antara lain sebagai
berikut :
1. Konsepsi keagamaan: baik ajaran Hinduisme menyatakan bahwa daratan
adalah tempat penting, tempat itu dinamakan Jambhudwipa, sebagai lokasi
bermukimnya manusia. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang bercorak
Hinduisme di Jawa lebih mementingkan inward looking dan tidak
memperhatikan daerah-daerah di luar Jambhudipa (Jawadwipa).
2. Dalam konsep makro kosmos Hinduisme dinyatakan bahwa di tengah
Jambhudwipa terdapat Gunung Mahameru sebagai pusat alam semesta dan
axis mundi antara ketiga dunia (bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka). Di
bagian kaki gunung itu adalah tempat tinggal manusia, di lerengnya
bermukim orang-orang suci dan para pertapa, dan di bagian puncak gunung
Mahameru terdapat sorga atau kota-kota tempat bersemayamnya para dewa
dinamakan Sudarsana. Maka dari itu banyak kerajaan yang bernafaskan
Hinduisme selalu mendekatkan diri kepada gunung dan dan dataran tinggi
yang dipercaya sebagai jelmaan dari Gunung Mahameru pusat alam semesta.
Dalam konsep ini daerah tepian pantai, laut atau lautan dianggap daerah yang
nista dan kotor, tempat tinggal roh-roh jahat, para raksasa, dan makhlukmakhluk
rendah lainnya. Oleh karena itu perhatian kepada laut, pelayaran di
laut dan menjelajah lautan bukan aktivitas yang disenangi oleh para pemeluk
agama Hindu.
3. Terdapat mitos Agastya yang menyatakan adanya larangan bagi para pendeta
Hindu untuk berlayar menyeberangi lautan. Oleh karena dalam mitologinya
Agastya dipercaya menghirup air laut sehingga kering (oleh karena itu
dinamakan Rsi Kumbhayoni, arcanya selalu digambarkan berperut buncit),
barulah Agastya berjalan kaki dari Jambhudwipa ke pulau-pulau lain di
selatan India hingga ke Nusantara. Di Nusantara Agastya dipuja sebagai
pendeta suci murid Siwa yang berjasa menyebarkan Hindu-saiwa.
Dalam pada itu terdapat juga faktor-faktor eksternal yang menjadikan
kerajaan-kerajaan kuno di Jawa dalam masa klasik belum mengembangkan
kekuatan lautnya. Faktor-faktor itu antara lain adalah :
1. Jalur perdagangan laut antara abad ke-7 s.d 12 belum terlalu ramai, walau pun
hubungan lewat laut antara India, Cina, dan wilayah Asia Tenggara telah
lama terjadi. Sebenarnya peningkatan perdagangan laut mulai terjadi dalam
abad ke-13 dan berangsur-angsur semakin ramai dalam abad ke-14 hingga
masuknya bangsa-bangsa barat.
2. Rempah-rempah belum dikenal sebagai sumber komoditi yang laku
diperdagangkan, karena itu para pedagang asing dari Barat belum banyak
yang berkunjung ke Nusantara
3. Belum banyak bandar niaga yang berkembang di pulau-pulau Nusantara, hal
ini terjadi seiring dengan belum banyaknya jumlah penduduk masa itu.
Demikian beberapa faktor yang menjadi mungkin menjadi penyebab
kerajaan-kerajaan di Jawa dalam masa Hindu-Buddha, sejak Mataram kuno
hingga Kadiri (abad ke-7 s.d 12 M) belum memperhatikan benar aktivitas di laut.
Hal itu tercermin juga dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno sezaman, uraian
karya sastra tersebut hampir seluruhnya bernuansakan dataran, tempat istanaistana
berada, lereng, pegunungan, hutan, dan gunung. Tidak ada karya sastra
Jawa Kuno yang mempunyai uraian agak rinci tentang laut, pelayaran di laut
perahu, atau pun tentang kemampuan navigasi laut orang Jawa Kuno. Jadi
seakan-akan kegiatan di laut itu luput dari perhatian para pujangga penyusun
kitab-kitab susastra Jawa Kuno. Hanya satu kitab Jawa Tengahan yang
menuturkan perjalan di laut, itupun perjalanan mitos yang dilakukan Bhima untuk
mencari air Amerta, kitab itu adalah Nawaruci. Uraian perjalanan Bhima di laut
tersebut bukanlah perjalanan biasa di laut, namun lebih menunjukkan metafora
perjalanan batin seseorang untuk bertemu dengan pengejawantahan Superhuman
being. Dengan demikian tidak dapat dijadikan referensi khusus dalam kajian
maritim masa Jawa Kuno.
Dalam Prasasti Gondosuli (OJO III) yang berangka tahun 769 Saka/847
M disebutkan adanya pejabat yang berjuluk dang puhawa(ng) Glis. Istilah dang
puhawang dalam masa kemudian di Jawa diucapkan dengan ”dampoawang”
yang artinya nakhoda kapal besar, saudagar kaya, atau pemimpin perjalanan
dengan kapal di laut. Dang sebenarnya setara dengan sang, yaitu kata sandang
bagi seseorang yang dihormati, adapun kata puhawang dari kata pu + hawan
memiliki kata dasar hawan atau hawang. Pu menunjuk kata sandang juga
berarti ”dihormati, dimuliakan” dan hawan artinya jalan, kendaraan, alat/cara
untuk mencapai sesuatu (Zoetmulder 1995, I : 345). Uraian Prasasti Gondosuli
(ditemukan di lereng utara Gunung Sumbing) yang menggunakan bahasa Melayu
Kuno menyiratkan adanya seorang saudagar kaya atau nakhoda besar dari daerah
Malayu (Sumatra) yang akhirnya mendarat dan bermukim di pedalaman Jawa
bagian tengah. Dapat ditafsirkan bahwa dalam masa itu terjadi hubungan laut
antara Sumatra dengan Jawa. Inskripsi berbahasa Melayu Kuno lainnya yang
ditemukan di Jawa Tengah adalah Prasasti Sojomerto (sekitar tahun 700 M).
Dengan adanya temuan tersebut penafsiran telah ada hubungan antara Jawa dan
Sumatra semakin menguat, dan dapat dipastikan hubungan itu terjadi melalui
jalur laut, artinya telah dikenal perahu-perahu. Jejak kapal besar dalam era
Syailendra abad ke-8 s.d 10 sudah banyak dikaji oleh para ahli lewat
penggambaran relief di Candi Borobudur. Kapal Borobudur tersebut bahkan telah
dibuat replikanya dan dilayarkan ke laut. Dengan demikian pelayaran di laut
lepas ketika pusat kerajaan di Jawa bagian tengah masih berdiri sudah barang
tentu telah dikenal, namun perhatian terhadap pengembangan perahu-perahu
besar untuk meluaskan pengaruh Kerajaan Mataram hingga luar Jawa belum ada
buktinya, kecuali interpretasi adanya hubungan antara Sriwijaya dan Mataram
dalam abad ke-9 M.
Dalam masa yang sama --sebagaimana disebutkan dalam prasasti-prasasti
Jawa Kuno-- dikenal pula kata hawan. Perkembangan selanjutnya mengartikan
kata hawan/ng sebagai kendaraan perahu. Uraian prasasti-prasasti Jawa kuno
menyebutkan kata hawan berarti perahu atau kapal. Misalnya dinyatakan dalam
Prasasti Kubu (827 Saka/905 M): ”mwaŋ ikanaŋ rama i kubu-kubu... an pinaka
hawan ing wai” (”kemudian rama di Kubukubu... bagaikan perahu di sungai”).
Prasasti lainnya yang menyebutkan hawan adalah Telang I (825 S/903
M): ”makamitana ikanaŋ kamulan muaŋ prahu umantassakna sang mahawan
pratidina” (”alasannya, di sana [ada] kamulan dan perahu yang mendarat dan
dikendarai setiap hari”) Dalam Prasasti Mantyasih I (829 S/907 M) dinyatakan
juga ”ikanaŋ patih rumaksa ikanaŋ hawan” (”di sana patih memelihara perahu”).
Hal itu menunjukkan bahwa perahu sebagai kendaraan dikenal di pedalaman
Jawa, namun prasasti-prasasti dan karya sastra tidak memberitakan adanya
ekspedisi ke luar Jawa dalam era Syailendrawangsa. Sehingga dapat
dikemukakan bahwa Kerajaan Mataram kuno belum mengembangkan
pengaruhnya hingga luar Jawa, artinya dunia maritim masih belum diperhatikan
dengan baik, keculai di masa mendatang ditemukan bukti-bukti baru.
Adalah Kerajaan Singhasari yang dapat ditafsirkan mulai memperluas
wawasan wilayahnya hingga ke luar Jawa. Interpretasi tersebut diperoleh
berdasarkan berita kitab Pararaton yang didukung oleh peninggalan arkeologis
berupa arca yang ditulisi prasasti (Prasasti Amoghapasa bertarikh 1208
Saka/1286 M) yang dikeluarkan oleh Krtanagara. Sebagaimana telah diketahui
dalam sejarah Singhasari, menurut berita Cina Krtanagara pernah didatangi
Meng-chi utusan dari Kublai Khan agar Jawa menghamba kepada kaisar dinasti
Yuan tersebut. Krtanagara tidak terima dan marah, lalu melukai wajah utusan
Kubhilai Khan, dan memerintahkan Meng-chi agar segera enyah dari Pulau Jawa.
Krtanagara segera mengirimkan sejumlah besar tentara Singhasari ke
Suwarnabhumi dengan maksud Suwarnabhumi mengakui kekuasaan Singhasari
dan dapat membendung kekuasaan Kubhilai Khan ke arah Selat Malaka dan
kepulauan Asia Tenggara. Pamalayu tersebut, demikian kitab Pararaton
menyatakan berhasil dengan gemilang, raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa
dihadiahi arca Amoghapasa oleh Krtanagara.
Hubungan dengan Malayu tersebut seakan-akan terputus tiba-tiba, karena
dalam tahun 1292 Krtanagara, terbunuh dalam serangan mendadak yang
dilancarkan oleh pasukan Jayakatwang yang datang dari Gelang-gelang dan
berkubu di wilayah Kadiri. Dalam masa-masa awal pembangunan Majapahit
sudah pasti Raden Wijaya dan para pejabat tingginya belum lagi memperhatikan
daerah Nusantara, walaupun mereka telah berhasil armada dinasti Yuan untuk
kembali ke negeri asalnya. Begitupun dalam masa pemerintahan Jayanagara
perhatian terhadap wilayah pulau lain belum nyata benar karena pemberontakanpemberontakan
masih acapkali terjadi di Majapahit.
Agaknya hubungan dengan Cina dalam masa Jayanagara tetap
berlangsung, menurut berita Cina antara tahun 1325 sampai 1328 telah datang
beberapa utusan dari Jawa ke Cina. Utusan Jawa itu dipimpin oleh Seng-chialiyeh,
sedangkan raja Jawa masa itu disebut dengan Cha-ya- na-ko-nai
(Jayanagara) (Sumadio 1984:431). Dalam masa Tribhuwanatunggadewi
Jayawisnuwarddhani Majapahit mulai melebarkan pengaruhnya ke Bali. Menurut
sumber-sumber Bali yang sangat berperanan dalam penguasaan Bali adalah
Gajah Mada, tentara Majapahit menyerang Bali dipimpin oleh Gajah Mada dan
Pu Aditya (Adityawarman). Armada Majapahit mendarat di pantai utara, timur,
dan daerah pantai selatan Bali, mereka lalu melakukan perjalanan darat
menyerang ibu kota Bali Kuno yang mungkin berkedudukan di wilayah Gianyar
sekarang. Setelah melalui pertempuran panjang, akhirnya Pulau Bali dapat
dikuasai oleh tentara Majapahit dan bernaung di bawah panji-panji kebesaran
Majapahit.
Tokoh Gajah Mada selalu saja dihubungkan dengan sumpahnya yang
terkenal, sumpah yang membuat ia melakukan berbagai upaya untuk dapat
membuktikannya. Mungkin saja apa yang diucapkan oleh Gajah Mada di
hadapan penguasa dan para pembesar Majapahit dalam suatu paseban lengkap itu
dapat dianggap sebagai pernyataan politik, atau suatu tujuan pemerintahan yang
harus dicapai agar Majapahit jaya dan disegani di seluruh Nusantara.
Masa itu (abad ke-14 M) di wilayah Asia Tenggara bermunculan
beberapa kerajaan yang mencoba meluaskan hegemoninya. Di wilayah Asia
Tenggara daratan berdiri kerajaan Ayut’ia (Ayudhya), kerajaan ini berkembang
di wilayah Menam Tengah dan Selatan, pengaruhnya mengarah ke Semenanjung
Melayu yang secara tradisional selalu berhubungan dengan Asia Tenggara
kepulauan. Ayut’ia juga sudah berkuasa atas wilayah Tenasserim dan Tavoy
yang berada dalam wilayah Myanmar. Dalam pada itu kerajaan Khmer yang
berpusatkan di Angkor kedudukannya menjadi terancam akibat munculnya
kerajaan Ayudhya di Siam tersebut (Hall 1988: 158).
Wilayah Champa berhasil membebaskan diri dari kekuasaan Khmer pada
sekitar akhir abad ke-13, namun di waktu yang bersamaan muncul ancaman dari
kekuatan dinasti Yuan (Mongol) yang berkuasa di Cina. Oleh karena itu para
penguasa Champa menerima ajakan raja-raja Jawa untuk bersekutu membendung
serangan orang-orang Tartar tersebut. Persekutuan itu seakan-akan tidak berarti
setelah Raja Jawa (Singhasari) Krtanagara terbunuh tiba-tiba oleh serangan
Jayakatwang. Jawa akhirnya diserang oleh tentara Kubhilai Khan tahun 1292,
setelah mengalahkan Kadiri tentara Cina itu diusir kembali oleh Raden Wijaya
dengan kawan-kawan, kemudian berdirilah Majapahit. Hubungan antara Champa
dan Majapahit terus berlangsung dengan baik terutama di bawah pemerintahan
Raja Jayasimhavarman di Champa. Hubungan-hubungan antara Champa dengan
Majapahit mungkin berlanjut terus hingga Raja Che Bo Nga (1360-1390 M) dan
Raja Indrawarman V (1400-1441 M) (Groslier 2002 : 320). Masa pemerintahan
Raja Che Bo Nga di Champa hampir bersamaan waktunya dengan era kejayaan
Majapahit dalam periode pemerintahan Hayam Wuruk (1351-1389 M). Agaknya
hubungan kedua kerajaan tersebut berlangsung akrab, di situs Trowulan bekas
kota Majapahit, banyak ditemukan boneka tanah liat bakar yang menggambarkan
figur dengan wajah Asiatic Mongoloid. mungkin figur-figur itu dimaksudkan
sebagai orang-orang Asia Tenggara daratan (Champa dan Siam) yang banyak
berkunjung dan berniaga di kota Majapahit. Bahkan sampai sekarang terdapat
kuburan kuno yang dinamakan oleh penduduk setempat dengan Makam Putri
Campa, mungkin tokoh tersebut memang berasal dari Campa yang akhirnya
pindah bermukim di Majapahit hingga akhir hayatnya.
Tanah Birma (Myanmar) pada masa itu tengah kacau, kekuasaan kerajaan
cukup lemah, pemberontakan kerapkali terjadi. Raja Binya Oe terpaksa
memindahkan ibu kotanya yang semula di Martaban, lalu dalam tahun 1363
pindah ke Donwun. Telah dikemukakan bahwa di Siam (Muang Thai)
memerintah para raja Sukodaya (Sukothai), kota Ayodyapura didirikan dalam
sekitar tahun 1350 oleh raja yang berjuluk Darmaraja II. Dalam pada itu Setelah
Kubhilai Khan meninggal tahun 1294, maka kekuasaan dinasti Yuan mulai
merosot di Cina. Sepeninggal Kubhilai Khan memerintah sekurangnya 10 raja
dinasti Yuan di Cina yang tidak berpengaruh dan tidak mengesankan, malah
pemberontakan demi pemberontakan orang-orang Cina terus terjadi merongrong
kekuasaan raja-raja Mongol. Pada akhirnya dalam tahun 1368, seorang jendral
Cina bernama Tsyu Yuan Tsyang (Hung Wu) berhasil mengenyahkan orangorang
Mongol dari dari daratan Cina, muncullah dinasti Baru di Cina, yaitu Ming
(1368-1644 M) (Yamin 1977 : 64). Perkembangan sezaman di Cina dan Asia
Tenggara daratan itulah sedikit banyak turut mempengaruhi Kerajaan Majapahit
yang sedang dibangun oleh para rajanya yang didukung oleh Mahapatihnya, yaitu
Gajah Mada.
Kakawin Nagarakrtagama yang digubah oleh Mpu Prapanca dalam masa
kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, menyatakan adanya
beberapa negara mitra satata di luar Nusantara, selain berbagai daerah Nusantara
yang diakui telah mengakui panjí-panji kebesaran Majapahit. Pupuh 15
Nagarakrtagama menyatakan sebagai berikut:
“…
tuhun/ taŋ syańkāyodyapura kimutaŋ darmmānāgarī,
marûtma mwaŋ riŋ rajapura nuniweh sinhanagari,
ri campa kambojanyat i yawana mitreka satata”.
(“…kemudian Syangkayodyapura, lalu Darmmanagari, Marutma, dengan
Rajapura, termasuk Singanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana itulah negaranegara
sahabat”)
Kerajaan-kerajaan yang disebutkan dalam Nagarakrtagama sebagai
negara sahabat tersebut, berkembang di wilayah Asia Tenggara daratan, ada
yang berada di Thailand (Syangkayodyapura dan Darmmanagari), di Myanmar
(Marutma dan Rajapura), Di Kamboja dan wilayah Vietnam sekarang (Champa
dan Yawana). Semua kerajaan itu berkembang bersamaan waktunya dengan
Majapahit di Jawa bagian timur. Para petinggi Majapahit sangat mungkin
menyadari sekali akan hal itu, oleh karena itu Majapahit berupaya membendung
pengaruh kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara daratan agar jangan sampai
menyebar di kepulauan Nusantara. Nusantara sudah semestinya milik kerajaan
yang tumbuh di pulau-pulau itu, kali ini Majapahitlah yang pantas
mengembangkan pengaruhnya di pulau-pulau Nusantara, bukan kerajaankerajaan
daratan Asia Tenggara.
Maka Gajah Mada pun mengangkat sumpah di pertemuan lengkap para
pejabat tinggi Majapahit, di balairung kedaton tanpa dihadiri Ratu
Tribhuwanottungga, demikian yang dapat ditafsirkan dari uraian Pararaton.
Gajah Mada lalu berkata: “Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa,
amun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang,
Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”
(Padmapuspita 1966 : 38).
Demikian ucapan Gajah Mada ketika ia bersumpah menurut kitab
Pararaton. Banyak tafsir dan masalah yang dapat didiskusikan dalam peristiwa
“Sumpah Palapa” tersebut. Menurut ucapan sumpah Gajah Mada terdapat 10
wilayah di Nusantara yang harus mengakui kejayaan Majapahit, yaitu Gurun,
Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik.
Agaknya penulis Pararaton hanya menyebutkan beberapa daerah yang dianggap
penting saja dari sejumlah besar daerah Nusantara yang mengakui kebesaran
Majapahit sebagaimana yang termaktub dalam Nagarakrtagama. Sepuluh
daerah tersebut tersebar di seluruh wilayah Nusantara, jadi walaupun tidak
disebutkan banyak daerah, kesepuluh daerah itu dianggap cukup mewakili
wilayah Nusantara yang harus mengakui kebesaran Majapahit. Daerah yang
pertama disebut oleh Gajah Mada adalah Gurun, daerah ini terletak di Pulau
Lombok, artinya mewakili pulau itu secara keseluruhan, ke-2 Seran adalah
daerah kepala burung di Papua, daerah ke-3 Tanjung Pura adalah wilayah
penting yang terdapat di Pulau Kalimantan, ke-4 Haru daerah di wilayah pantai
timur Sumatra utara, ke-5 Pahang adalah daerah penting di Semenanjung Melayu,
ke-6 Dompo terdapat di Sumbawa dekat dengan wilayah Bima, ke-7 Bali, adalah
Pulau Bali, ke-8 Sunda, atau Kerajaan Sunda terletak di Jawa bagian barat, ke-9
Palembang, di Sumatra bagian selatan, dan ke-10 adalah Tumasik, adalah nama
lama dari Singapura sekarang.
Beberapa daerah yang “dibidik” oleh Gajah Mada tersebut ternyata
tempat berkembangnya kerajaan lama, kerajaan terdahulu yang mempunyai
sejarah lebih tua daripada Majapahit. Misalnya Bali, dahulu di pulau itu pernah
berdiri Kerajaan Balidwipamandala dengan ibu kota Singhadwala milik dinasti
Warmadewa (abad ke-8 s.d 10 M). Sunda yang terletak di Jawa bagian barat,
dahulu di wilayah itu pernah berdiri kerajaan tertua di Tanah Jawa, yaitu
Tarumanagara (sekitar abad ke-4 s.d 6 M). Menyusul Tanjungpura yang terletak
di Kalimantan, di pulau itu pernah berdiri kerajaan Kutai kuno dengan rajanya
Mulawarmman (abad ke-4 s.d 5 M), dan Palembang di Sumatra selatan bekas
tempat kedudukan Kerajaan Sriwijaya yang berkembang dalam abad ke-8 s.d 12
M. Gajah Mada seakan-akan hendak mencari tuah dan kekuatan sakti dari
kerajaan-kerajaan yang mendahului Majapahit, selain itu Gajah Mada juga
sepertinya hendak meneguhkan bahwa Majapahit adalah pewaris dari kerajaankerajaan
terdahulu di Nusantara.
Pahang dan Tumasik adalah daerah-daerah penting untuk menyongsong
perhubungan laut dengan kekuatan dari Asia Tenggara daratan, dan yang penting
sekali adalah untuk menetralisir pengaruh kekuatan politik dari Cina. Haru di
Sumatra bagian utara, merupakan salah satu daerah barat Nusantara untuk
memudahkan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di benua Jambhudwipa (India),
adapun Dompo harus dikuasai karena daerah pusat penghasil kayu cendana
bermutu tinggi yang sangat diperlukan dalam berbagai ritus keagamaan dan laku
dijual keluar Nusantara, sedangkan Seran dan pulau-pulau di sekitarnya (Maluku)
adalah penghasil rempah-rempah yang dalam abad ke-14 mulai dicari dan
diminati oleh para pedagang Jambhudvipa untuk dijual lagi ke kawasan timur
tengah dengan harga yang tinggi.
Dengan demikian Gajah Mada tidak asal saja dalam mengucapkan
sumpahnya. Daerah-daerah yang dikatakannya harus berada di bawah kekuasaan
Majapahit, adalah daerah pilihan yang mempunyai makna tersendiri bagi
Majapahit, jika Majapahit ingin berkembang menguasai Nusantara, maka daerahdaerah
itulah yang harus dikuasai lebih dahulu, demikian maksud Gajah Mada.
Setelah para penentang pembuktian Sumpah Palapanya lenyap, Gajah
Mada beserta tentara Majapahit dan para ksatrya, arya, dan pendukung lainnya
mulai “unjuk kekuatan” dengan mengembangkan pengaruh Majapahit ke luar
Jawa [timur]. Daerah pertama yang didatangi oleh bala tentara Majapahit adalah
Bali, setelah peperangan lama dan melelahkan Bali ditaklukkan, lalu dengan
segera Gurun (Pulau Lombok) pun dapat ditaklukkan tentera Majapahit.
Menurut uraian Berita Cina dari dinasti Ming, pada tahun 1377
Suwarnabhumi (Sumatra) diserbu oleh tentara Jawa. Putera mahkota
Suwarnabhumi tidak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina,
putera mahkota itu takut kepada kekuasaan raja Jawa. Kaisar Cina lalu
mengirimkan utusan ke Suwarnabhumi untuk mengantarkan surat persetujuan
pengangkatan putra mahkota sebagai raja, namun utusan Cina itu dicegat oleh
tentara Jawa dan dibunuh. Kaisar Cina tidak melakukan tindakan apapun
terhadap raja Jawa, karena tindakan balasan tidak ada gunanya. Penyerbuan bala
tentara Jawa ke Suwarnabhumi itu dikarenakan raja Suwarnabhumi dalam tahun
1373 mengirimkan utusan ke Cina tanpa seizin raja Jawa. Tentu saja pengiriman
utasan itu dipandang oleh raja Jawa sebagai pelanggaran terhadap status negara
Suwarnabhumi yang sebenarnya menjadi bawahan raja Jawa Majapahit
(Groeneveldt 1960 : 69, Muljana 1979 : 142).
Raja Jawa yang dimaksudkan menurut berita Cina itu tentunya raja
Majapahit, karena kerajaan itulah yang mempunyai armada laut mengesankan
dalam abad ke-14 di kepulauan Nusantara. Menilik angka tahun 1377 waktu
tentara Jawa menyerang Suwarnnabhumi, maka dapat dipastikan bahwa yang
menjadi raja di Majapahit adalah Hayam Wuruk, karena berdasarkan berbagai
sumber tertulis dapat diketahui bahwa raja tersebut memerintah antara tahun
1351-1389 M. Mengenai daerah mana yang diserang oleh tentara Majapahit
tersebut, memang tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi ada kemungkinan
adalah Kerajaan Sriwijaya di masa senjanya yang berkedudukan Palembang.
Dalam berbagai sumber tertulis lokal, berita Cina, dan juga folklore setempat
dinyatakan bahwa satu-satu daerah di Sumatra yang akrab dengan kekuasaan
Cina adalah Palembang. Sriwijaya disebut oleh orang-orang Cina dengan Che-lifo-
tsi atau Co-ye. Setelah Sriwijaya runtuh, lama sekali bekas kota Sriwijaya itu
dibiarkan tidak mempunyai raja. Para bajak laut Cina sempat berkuasa lama di
bekas kota Sriwijaya hingga pada awal abad ke-15 ketika Majapahit sedang
mengalami konflik internal, datanglah armada Cina ke bekas kota Sriwijaya
untuk memulihkan keadaan. Kemudian mulai tahun 1408 berdirilah sistem
pemerintahan baru yang dipimpin oleh orang-orang Cina, kota itu disebut dengan
Kyu-kang (Ku-kang), verita Cina lainnya ada yang sudah menamakannya dengan
Fa-ri-fong (Palembang) (Boedenani 1976 : 61). Demikianlah maka yang
dimaksud dengan penyerbuan tentara Jawa ke Suwarnabhumi, adalah
penyerangan tentara Majapahit terhadap kerajaan tua Sriwijaya yang pada waktu
itu telah lemah dan banyak berkiblat kepada Cina.
Kejayaan bala tentara Majapahit yang menaklukkan daerah-daerah di luar
Jawa juga dicatat oleh Sejarah Melayu. Menurut sumber tersebut tentara
Majapahit berhasil mengalahkan Tumasik karena adanya penghianatan salah
seorang pembesar Tumasik yang bernama Rajuna Tapa. Berkat peranan Rajuna
Tapa itulah tentara Majapahit dengan mudah merebut Tumasik, karena
kelemahan-kelemahan Tumasik dapat dimanfaatkan oleh tentara Majapahit.
Setelah peperangan usai, dan Tumasik mengakui kewibawaan Majapahit, Rajuna
Tapa mendapat kutukan negeri, ia berubah menjadi Batu di tepi sebuah kali di
Singapura, rumahnya roboh, dan beras simpanannya menjadi tanah (Muljana
1979 : 143). Berita dari Sejarah Melayu itu menjadi bukti bahwa Sumpah Palapa
Gajah Mada memang benar-benar dilaksanakan oleh Majapahit, sebab salah satu
daerah Nusantara yang diucapkan Gajah Mada dalam sumpahnya dan yang harus
ditaklukkannya adalah Tumasik. Mungkin sekali sejak abad ke-14 Tumasik telah
menjadi daerah yang strategis bagi jalur laut yang melalui Selat Malaka ke Laut
Cina Selatan dan sebaliknya, oleh karena itu Gajah Mada berpikiran harus
dikuasai Majapahit. Terbukti ratusan tahun kemudian, setelah berganti-ganti
penguasa Tumasik menjelma menjadi negara-kota yang jaya, yaitu Singapura.
Di wilayah Sumatra bagian utara terdapat beberapa lokasi yang mengala
kepada tafsiran bahwa tentara Majapahit waktu menyerang daerah Pasai dipimpin
langsung oleh Patih Amangkubhumi Gajah Mada.Dongeng yang beredar di
kalangan penduduk setempat menyatakan bahwa sebuah bukit di dekat kota
Langsa bernama Manjak Pahit, berasal dari kata Majapahit. Menurut cerita
rakyyat setempat tentara Majapahit membuat kubu dan perkemahan di area bukit
tersebut sebelum menyerbu kota Tamiang. Rawa yang membentang antara Perlak
dan Peudadawa dinamakan penduduk dengan Rawa Gajah, konon nama itu
berasal dari nama Gajah Mada. Sang Patih beserta tentara Majapahit pernah
memintasi rawa tersebut dalam perjalanan menuju Lhokseumawe dan Lambu air.
Di seberang rawa, di daerah pedalaman terdapat Bukit Gajah, dinamakan seperti
itu karena setelah perahu-perahun tentara Majapahit itu mendarat di seberang
rawa, mereka segera bergerak langsung menuju Bukit Gajah dipimpin oleh Gajah
Mada. Adapun bukit yang ada di dekatnya dinamakan Meunta, pengubahan
pengucapan dari Mada. Di tempat itulah Patih Mada berkemah mengatur strategi
untuk menyerang Pasai. Nama-nama tempat itu berhubungan dengan Majapahit
dan Gajah Mada, maka ada kemungkinan penaklukkan Pasai oleh bala tentara
Majapahit dalam tahun 1350 dipimpin langsung oleh Mahapatih Gajah Mada
(Muljana 1979 : 144). Demikian beberapa sumber tradisi yang terdapat di
Sumatra yang masih dikenal hingga sekarang, sumber-sumber tersebut
menjelaskan toponimi suatu lokasi yang berhubungan dengan Majapahit atau
Gajah Mada. Tentu saja hal itu akan mengingatkan orang bahwa di masa silam
pernah ada serangan tentara Majapahit melalu laut yang dipimpin langsung oleh
Gajah Mada.
Majapahit juga mengarahkan armada militernya ke pulau-pulau sebelah
timur Bali, yaitu Pulau Sumbawa dan pulau lainnya. Peristiwa penyerangan ke
Dompo dalam Pararaton disebut Padompo terjadi dalam tahun 1357, setelah
meletusnya peristiwa Bubat. Menurut karya historiografi lokal disebutkan adanya
kedatangan tokoh cerita wayang yang berasal dari Jawa, yaitu sang Bima dan
saudara Pandawa lainnya. Karya itu berjudul “Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala
Dewa-dewa” dan Hikayat Sang Bima yang telah dialihaksarakan dan
diterjemahkan oleh Henri-Chambert-Loir (2004).. Uraian kisahnya pun telah
dilingkupi dengan berbagai mitos, legenda, dongeng, dan mungkin juga peristiwa
sejarah sezaman ketika naskah itu pertama kali digubah dalam abad ke-17 dan 19
(Chambert-Loir 2004 : 7).
Henri Chambert-Loir pernah menyatakan bahwa pemberian nama daerah
Bima kepada wilayah di timur Dompo di daerah Sumbawa timur itu agaknya
diberikan oleh orang asing (sangat mungkin orang Jawa), tidak diketahui alasan
orang asing tersebut memberikan nama Bima kepada daerah tersebut, karena
penduduk asli sendiri menamakannya dengan Mbojo, untuk “bahasa Bima”
disebut dengan nggahi Mbojo dan “orang Bima” disebut doü Mbojo. “Barangkali
nama tersebut patut dibubungkan dengan kultus tokoh Bima yang berkembang di
Jawa Timur pada akhir Jaman Majapahit”, demikian menurut Chambert-loir
(2004 : 69).
Adanya kemungkinan serangan orang-orang Jawa dari Majapahit
terhadap daerah Dompo dan Bima ternyata mendapat dukungan dari berbagai
tinggalan arkeologis. Selain adanya arca-arca yang bersifat Hindu-saiwa, di
daerah tersebut terdapat juga dua prasasti singkat yang dinamakan oleh penduduk
dengan Wadu Pa’a (batu pahat) dan Wadu Tunti (batu bertulis). Prasasti Wadu
Tunti diperkirakan oleh para ahli berasal dari abad ke-14 M, selain prasasti
singkat juga dipahatkan 4 figur relief rendah yang salah satunya menggambarkan
Siwa Mahadewa. Adapun Prasasti Wadu Pa’a mempunyai banyak ciri, prasasti
tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-6 s.d 7 M karena mengandung
beberapa ciri prasasti Sriwijaya, tetapi juga menyimpan ciri prasasti Bali abad ke-
11, namun ada juga sebagian karakter yang mirip dengan prasasti-prasasti Jawa
Timur dari sekitar tahun 1371 M (Chambert-loir 2004 : 67-69). Kesimpulan yang
dapat ditarik dari berita adanya serangan Majapahit ke Dompo dan juga
berdasarkan temuan arca-arca serta prasasti yang bercirikan kronologi lebih tua
daripada zaman Majapahit adalah bahwa di daerah Dompo telah berkembang
kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha. Kerajaan itu agaknya telah lama
berkembang dan pengaruhnya dirasakan mengganggu armada dagang Majapahit
ke wilayah Nusantara timur, karena itulah perlu segera ditaklukkan oleh tentara
Majapahit. Pada waktu serangan tentara Majapahit ke Dompo tersebut, pusat
kekuasaan di Bima belum lagi ada, karenanya baik Pararaton maupun
Nagarakrtagama menyatakan adanya serangan Majapahit ke Dompo, bukan ke
Bima. Setelah Dompo jatuh tentara Majapahit dengan dibantu oleh penduduk
setempat yang masih diketuai oleh para ketua adat lalu mendirikan pemukiman
baru yang kelak dinamakan dengan Bima. Pemukiman baru itu sengaja didirikan
untuk menjaga kelanggengan pengaruh Majapahit di Sumbawa; andaikata
Dompo hendak memberontak lagi, maka anak keturunan bangsawan Majapahit
dan tentara Majapahit yang telah kawin-mawin dengan penduduk setempat di
Bima dapat segera menggempur Dompo kembali.
Dompo disebutkan dalam kakawin Nagarakrtagama pupuh 72, dengan
menyatakan bahwa Hayam Wuruk menunjuk pejabat tinggi Tumenggung
Wiramandalika untuk urusan mancanagara bernama Pu Nala. Ia adalah orang
yang pemberani, pengabdi raja setia, sering mengadakan perjalanan muhibah
antara lain ke Dompo (Pigeaud 1960, III : 84). Peristiwa ini disebutkan setelah
Gajah Mada Meninggal tahun 1286 S/1364 M, jadi memang Pu Nala ditunjuk
oleh Hayam Wuruk untuk menggantikan peranan Gajah Mada dalam bidang
“menteri luar negeri” yang bertugas mengelola hubungan dengan daerah-daerah
kekuasaan Majapahit di luar Jawa timur (Nusantara). Pu Nala sendiri
sebagaimana yang dinyatakan dalam Nagarakrtagama ialah orang yang sering
mengadakan perjalanan muhibah ke luar Jawa, antara lain dalam melakukan
serangan terhadap Dompo, jadi Pu Nala bukan pemimpin utama penyerangan
terhadap Dompo, melainkan salah seorang laksamana Majapahit yang turut serta
dalam ekspedisi tersebut. Lalu siapa gerangan laksamana utama yang merancang
untuk menaklukkan Dompo ?, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, tokoh
itu tidak lain adalah Gajah Mada sendiri. Gajah Madalah yang memimpin
langsung armada Majapahit untuk menaklukkan negeri-negeri jauh ke arah
matahari hidup. Dalam Pararaton disebutkan bahwa dalam tahun yang sama
dengan Pasunda-Bubat yaitu tahun 1357 M, terjadi pula Padompo (ekspedisi ke
Dompo) (Hardjowardojo 1965 : 53). Demikianlah setelah Dompo ditaklukkan
tahun 1357, dan Bima didirikan pada tahun-tahun kemudiannya, kakawin
Nagarakrtagama yang selesai digubah oleh Mpu Prapanca dalam tahun 1365 M
pupuh 14 : 3 menyatakan sebagai berikut :
“sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnanen ri bali makamukya tan
badahulu mwang i lwagajah gurun, makamukya sukun/ri taliwang ri dompo
sape ri sanghyang api, bima , seram i hutan kadaly apupul”
(“Di sebelah timur Tanah Jawa, termasuk daerah-daerah di Bali, terutama
wilayah Badahulu dan Lwa Gajah, Gurun, daerah penting Sukun di Taliwang,
Dompo, Sape, Sanghyang Api (Gunung Tambora), Bima, Seram, Hutan Kadali,
semuanya bersatu [di bawah panji-panji Majapahit]”).
Maka dapatlah disimpulkan bahwa ekspedisi armada Majapahit ke
Dompo berhasil dengan dengan baik, orang-orang Majapahit kemudian
mendirikan nagara Bima, dan para pembesar ekspedisi tersebut lalu kembali ke
Majapahit termasuk Gajah Mada dan Pu Nala.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat diketahui berbagai sebab
sehingga Majapahit walaupun bertumpu kepada aktivitas agraris, tetapi juga
mengembangkan perhatiannya kepada dunia maritim. Beberapa alasan internal
sehingga Majapahit mengembangkan wawasannya hingga ke luar Jawa (timur)
dan didukung dengan aktivitas kemaritiman yang meluas :
1. Konsep keagamaan masa Majapahit telah memadukan ajaran Hindu-saiva dan
Buddha Mahayana. Agaknya ajaran Buddha yang menempatkan benua
Jambhudwipa di selatan Gunung Mahameru telah membantu membuka
wawasan bahwa ada benua-benua lain di sekitar Mahameru (barat, utara, dan
selatan) yang harus dikunjungi para pemeluk Buddha (dikenal adanya Buddha
Dipaŋkara yang dipuja oleh para pelaut untuk meredakan gelombang dan
badai besar di lautan).
2. Majapahit melanjutkan politik Dwipantara yang telah digagas oleh
Krtanagara namun diperbaharui lagi oleh Gajah Mada dengan Sumpah
Palapanya.
3. Mempunyai pejabat tinggi yang mendukung aktivitas kemaritiman, semisal
Gajah Mada dan Pu Nala. Kenyataan yang menarik adalah apabila Hayam
Wuruk menurut Nagarakrtagama kerapkali melakukan perjalanan darat
berkeliling Jawa bagian timur sebagai daerah inti Majapahit, maka terdapat
sejumlah data yang dapat ditafsirkan bahwa Gajah Mada melakukannya di
laut. Gajah Mada sangat mungkin seringkali melakukan perjalanan laut ke
berbagai wilayah Nusantara untuk membuktikan isi Sumpah Palapanya.
Dalam pada itu terdapat beberapa faktor luar sehingga memaksa
Majapahit mengembangkan kekuatan maritimnya :
1. Meningkatnya perhubungan laut di Asia Selatan dan timur, jalur laut
tradisional antara Arab, India, dan Cina semakin ramai dilalui para niagawan
untuk melakukan transaksi barang dagangannya, akibatnya
2. Meningkatnya perdagangan laut di kawasan Asia Tenggara, karena di
kawasan tersebut berdiri beberapa kerajaan besar yang mempunyai wilayah
kekuasaan cukup luas.
3. Semakin banyaknya kapal-kapal layar dari pulau-pulau Nusantara dan luar
Nusantara yang berlabuh di bandar-bandar Majapahit, seperti di Tuban,
Lasem, Gresik, dan Ujung Galuh (Surabaya) membawa kesadaran akan
adanya wilayah-wilayah lain di luar Jawa yang juga harus dikuasai oleh
Majapahit
Perkara yang secara logis mudah diduga adalah perihal kapal layar atau
perahu besar zaman Majapahit yang menjadi armada laut kerajaan tersebut.
Sudah pasti Majapahit memiliki banyak perahu besar kecil, kapal layar, jung
perang lainnya mengingat pengaruhnya yang menyebar ke seluruh Nusantara,
namun hingga kini perahu atau kapal layar itu belum dapat diketahui bentuknya
secara pasti. Kesulitan untuk mengungkap bentuk perahu/kapal layar zaman
Majapahit tersebut disebabkan adanya keterbatasan data, antara lain :
a. Tidak ada penggambaran relief candi yang cukup memadai perihal perahu
besar/kapal layar zaman Majapahit. Hanya ada satu-satu relief ”kapal” yang
penggambarannya samar-samar, adapun relief perahu menunjukkan sampan
kecil yang dapat dimuati oleh 2 orang. Relief-relief tersebut terdapat di
kompleks Candi Panataran.
b. Sumber-sumber tertulis (prasasti dan karya sastra) yang digubah zaman
Majapahit lebih banyak menguraikan dunia daratan, hutan, pegunungan,
lereng berhutan, istana dan pertapaan, jadi tidak ada yang bertutur tentang
dunia pelayaran di laut.
c. Belum banyak tinggalan arkeologis yang merupakan sisa perahu besar atau
kapal layar zaman Majapahit.
Data butir a dan b yang memang sangat terbatas sangat mungkin dikarenakan :
1. Masyarakat sezaman tidak perlu lagi menggambarkan bentuk perahu/kapal
layar, karena memang masa itu bentuk dan ukurannya merupakan
pengetahuan sehari-hari yang sudah umum, karena itu penggambaran relief
perahu Majapahit di candi-candi menjadi langka.
2. Dalam karya sastra yang perlu dinarasikan adalah peristiwa aktivitas tokohtokoh
di daratan dalam upaya menegakkan kebenaran, melaksananakan ajaran
keagamaan atau upaya mencari hakekat yang tertinggi, dan biasanya bertapa
di hutan-hutan di lereng gunung simbol Mahameru.
3. Perahu atau kapal layar menggunakan bahan kayu, sehingga sangat mungkin
banyak sisa kapal layar zaman Majapahit telah lapuk dan hancur termakan
usia sehingga sukar dilacak lagi keberadaannya.
Berikut dikutipkan beberapa karya sastra sezaman atau sedikit lebih muda yang
disusun di daerah pantai utara Jawa Timur (Lasem) dan yang digubah di luar
Pulau Jawa. Berdasarkan uraiannya dapat diketahui karya sastra tersebut
mengacu kepada setting sejarah Majapahit, namun tidak digubah oleh para
pujangga besar Majapahit atau anonim; oleh karena itu disebut saja karya sastra
minor masa Majapahit. Uraian karya-karya sastra minor itu ada yang
menyinggung tentang perahu layar atau perahu yang dipergunakan era Majapahit.
Diharapkan berdasarkan kutipan-kutipan karya sastra minor yang belum banyak
dieksplorasi informasinya tentang perahu, dapat dihipotesakan bentuk –bentuk
perahu atau kapal kayu yang dipergunakan dalam zaman itu.
Carita Lasem:
”Dhek nalika taun Syaka 1273 sing dadi Ratu aneng Lasem iku asma Dewi Indu,
adhik nakdulur misane Prabu Hayam Wuruk ing Wilwatikta..... Para kawula ing
Lasem nganti marabi asma Dewi Purnamawulan. Garwane asma Pangeran
Rajasawardana, dadi Dhang Puhawang Wilwatika, nguwasani jung-jung perang
ing plabuhan Kaeringan lan plabuhan Regol ing Lasem...” (Carita Lasem 1920:
10).
Menurut Carita Lasem yang berbahasa Jawa Tengahan, di pelabuhan Lasem
dalam tahun 1273 Saka/1351 M banyak bersandar jung-jung perang yang
merupakan bagian armada tempur Majapahit. Adapun yang menjadi
laksamananya adalah Rajasawardana suami Rani Lasem Dewi Indu. Sedikit
informasi tersebut tetap harus diperhatikan untuk menyusun data perahu/kapal
masa Majapahit.
Babad Dalem dari Bali mempunyai informasi pula perihal perahu zaman
Majapahit, dinyatakannya sebagai berikut:
”Dikisahkan perjalanan utusan (Majapahit) itu dengan menumpang perahu layar
dari Bubat, menyalakan lampu menuju Telagorung, melewati Pajarakan ke
selatan menuju Pulwayam menyusuri Selat Bali. Tampak pantai Kapurancak...”
(Rai Putra 1995: 13).
Informasi yang didapat dari kutipan tersebut adalah adalah perahu layar
yang berlampu dalam zaman Majapahit dapat berlayar dari Bubat, artinya
menyusuri Sungai Berantas menuju Selat Madura, membelok ke selatan
memasuki Selat Bali dan menuju pantai Bali selatan. Perahu dari Majapahit itu
sebenarnya sedang menuju ke Samprangan yang dewasa itu menjadi ibu kota Bali
dibawah pengaruh Majapahit.
Bagian lain dalam Babad Dalem menyatakan bahwa ketika Raja Bali
Smara Kapakisan diundang oleh Hayam Wuruk ke istana Majapahit,
maka : ”Dikisahkan raja Bali dalam perjalanan itu menggunakan perahu layar
yang dihias dengan tumbuh-tumbuhan melata, meniru hiasan dewa asmara.
Setelah itu beliau beliau yang berlayar dalam dua perahu ibarat bunga teratai
yang indah, tiang panji-panjinya dihias dengan permata indah bermacam ragam.
Kryan Patandakan berlayar di depan raja dengan perahu berwarna putih di sanasini,
Kryan Kubon Tubuh sebagaimana biasa menggunakan perahu berwarna
hitam, para mentri yang lain menggunakan perahu sebagai masa-masa lampau,
berturut-turut perahunya merupakan iring-iringan” (Rai Putra 1995: 23-24)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat bermacam peringkat
perahu, ada yang milik raja, mentri utama yang pengawal raja (berwarna putih),
perahu pengawal yang tentunya jung perang (berwarna hitam), dan perahuperahu
para pejabat tinggi lainnya. Perahu layar raja Bali dan pengiringnya
sangat mungkin di bagian depannya dihias dengan figur bentuk makara,
sebagaimana yang dikenal hingga sekarang pada perahu-perahu nelayan Bali.
Makara adalah binatang mitos berkepala ikan, namun berbelalai seperti gajah,
oleh karena itu dalam kebudayaan India dinamakan dengan Gaja-mina. Perahuperahu
itu menurut Babad Dalem, berlayar sangat cepat di laut dan lincah
dikendalikan (Rai Putra 1995 : 24).
Dalam uraian Kisah Panji (Angreni) Palembang dinyatakan bahwa
setelah Dewi Angreni dibunuh atas perintah raja Koripan, jenazahnya dibawa
oleh suaminya Raden Panji untuk berlayar ke laut. Panji seperti hilang ingatan
dan mengganggap Dewi Angreni masih hidup dan akan dihiburnya dengan
bercengkerama dengan perahu di laut. ”Achirnja ia (Pandji) berkata kepada
saudara-saudaranja : ’Kalau kalian kasihan kepadaku, ikutilah aku kemana aku
pergi’. Saudara-saudaranja berdjandji. ’Sekarang aku hendak bersampan-sampan’,
kata Pandji meneruskan, ’berilah aku perahu’. Prasanta memerintahkan
mempersiapkan perahunja jang bernama Indrajala dan memuatinja dengan 600
orang pengajuh. Perahu jang sebuah lagi bernama Djaladara, dengan 400 orang
pengajuh. Kedua perahu itu dipersiapkan untuk menempuh laut (Poerbatjaraka
1968: 186).
Kisah Panji diciptakan dan disebarkan dalam zaman Majapahit, oleh
karena itu informasi yang terkandung di dalamnya sezaman dengan
perkembangan kerajaan itu. Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui adanya
kapal kayu besar yang bisa memuat 600 dan 400 orang pengayuh sekaligus.
Walaupun cerita Panji adalah kisah rekaan, namun situasi zaman, kehidupan
sosial-budaya, bahkan inti ceritanya bersandarkan pada peristiwa sejarah yang
pernah terjadi dalam zaman Majapahit (Munandar 2005). Oleh karena itu berita
tentang adanya kapal kayu besar dalam era Manjapahit agaknya dapat dipercaya.
Dalam kisah Panji Angreni selanjutnya diuraikan bahwa rombongan perahu
Raden Panji, saudara-saudara, para pengiring dan pengawalnya akhirnya diamuk
badai, sebagian besar perahu kecil milik rakyat dan pengiring Raden Panji pecah
dan tenggelam, hanya kedua kapal besar itu saja yang bertahan dan terdampar di
Pulau Bali (Poerbatjaraka 1968: 187).
Karya sastra lainnya adalah Hikayat Sang Bima digubah oleh seorang
dalang yang bernama Wisamarta ialah ”seorang-orang Melayu (yang) datang ke
Bima”. Ia memutuskan untuk menulis karya tersebut berdasarkan sebuah cerita
setempat dengan tujuan menghibur hati dan menceritakan asal-usul kerajaan
Bima ”supaya tahu segala yang belum tahu dan supaya dengar segala yang belum
mendengar (Chambert-Loir 2004: 143).
Dalam karya sastra itu disebutkan bahwa Sang Bima (sebenarnya
metafora bangsawan Majapahit) beserta adik-adiknya meminta izin kepada Sang
Nata di paseban untuk menyerang lawan ke arah matahari hidup (timur) agar
termasyur, sebab seluruh Tanah Jawa telah ditaklukkan.
”...tetapi jikalau demikian baiklah kita membawa rakyat Jawa ini supaya
kita suruh berbuat perahu akan kenaikan kita. Maka dikerahkan rakyat Jawa itu
berbuat jung dan gurab dan pelang dan knt...[teks tidak dapat dibaca] beberapa
ratus, dan kenaikan baginda empat bersaudara sebuah seorang gurab, panjangnya
30 depa, bukanya 15 depa. Maka beberapa lamanya baginda menyuruh berbuat
perahu, maka sudahlah segala perahu itu dengan segala kelengkapannya”
(Chambert-Loir 2004 : 217). Berdasarkan kutipan tersebut dapat dapat diketahui
bahwa ada perahu Jawa (Majapahit) yang disebut gurab panjangnya 30 depa
dan lebarnya 15 depa. Ada pula jenis perahu lainnya yaitu jung dan pelang.
Dalam pada itu Hikayat Banjar menyatakan bahwa ketika Negara-Dipa
telah berdiri maka dan telah makmur maka banyak pedagang yang datang
berniaga di pelabuhannya. Kemudian sang raja berkata :
”Sudah kita berbuat nagri sandiri, manurut tahta astilah tjara nagri Majapahit.
Maka pakaian kita samuanja pakaian tjara orang Djawa. Maka chabar tjarita
orang tuha-tuha dahulu-dahulu kala: manakala orang nagri itu manurut pakaian
orang nagri lain nistjaja datangnya sangsara” (Ras 1968 : 264).
Mengenai perahu orang-orang Nagara-Dipa itu dinyatakan :
”Maka Aria Magatsari mahalukan ke palabuhan itu lawan parahu tanggahan
namanja si Tjarang Padap. Panjangnja sapuluh depa, Andjil-andjilnja kumbala
radjasa, barkakitir amas bertirai amas. Sulanja basi malila. Pabalahnja barkajuh
ampat puluh. Parahu itu dikajuh tangkasnja saparti burung tarbang rupanja.
Tubuh parahu itu bartulis galuga pahul dan air mas” (Ras 1968 : 260).
Demikianlah gambaran perahu Nagara-Dipa yang meneruskan cara dan tradisi
Majapahit, perahu itu panjangnya 10 depa, haluannya yang membelah air dilapis
baja hitam yang awet, tombak di haluan dari besi kuat, berbendera kecil-kecil
kain emas, bertirai kain emas mempunyai kayuh 40, tubuh perahu diwarnai
merah gelap, biru terang, dan warna emas.
Beberapa kutipan karya sastra minor masa Majapahit tersebut kiranya
dapat membantu untuk sekedar membayangkan bagaimana dunia perkapalan
dalam zaman Majapahit menurut sumber-sumber lokal sendiri. ”Karya sastra
minor” itu dihasilkan di daerah-daerah yang mendapat pengaruh kuat kebudayaan
Majapahit, sebelum banyaknya orang-orang Barat berkunjung ke pelabuhanpelabuhan
Nusantara. Pada akhirnya diperoleh beberapa butir pemahaman
mengenai perahu/kapal layar hasil interpretasi dari karya sastra minor Majapahit.
Pemahaman itu antara lain adalah :
1. Banyak jenis perahu layar yang dikenal dalam era Majapahit, perahu yang
jelas berlabuh di pelabuhan Kaeringan dan Regol di Lasem adalah jung-jung
perang (Carita Lasem); kemudian ada jenis perahu gurab, pelang, jukung,
dan lainnya (Hikayat sang Bima & Hikayat Banjar)
2. Ukurannya perahu bermacam-macam, berdasarkan relief Candi Panataran ada
yang berupa sampan yang hanya dikayuh oleh 2 orang agaknya untuk
menyusuri kali atau memintas sungai. Ada pula yang berukuran panjang 30
depa dan lebar 15 depa (Hikayat sang Bima), serta ada perahu yang
berukuran 10 depa (Hikayat Banjar).
3. Hampir semua karya sastra menyatakan bahwa perahu/kapal-kapal Majapahit
itu mempunyai layar (tidak dijelaskan bertiang tunggal atau ganda) (Babad
Dalem, Hikayat sang Bima, Hikayat Banjar, Kisah Panji Angreni
Palembang, dan Carita Lasem)
4. Kayuh yang dipasang ada yang berjumlah 40 pengayuh (Hikayat Banjar),
namun ada pula yang mempunyai 400 sampai 600 pengayuh dalam 1 kapal
layar besar (Kisah Panji Angreni Palembang)
5. Mempunyai perlengkapan kapal yang memadai seperti lampu, senjata,
tombak di haluan, haluan yang dilapis baja, rumah kapal, dapur, dan gudang
(Babad Dalem, Hikayat sang Bima, dan Hikayat Banjar)
6. Perahu/kapal layar itu melaju dengan cepat, tangkas dan mudah dikemudikan
(Babad Dalem & Hikayat Banjar).
7. Kapal layar besar dan penting mempunyai nama yang mengesankan. Dalam
Kisah Panji Angreni kedua kapal layar Panji dan para pengiringnya
dinamakan dengan Indrajala (raja/penguasa air), Jaladara (menyerupai air
atau ”menyatu dengan air”), dalam Hikayat Banjar ada kapal yang
dinamakan Tjarang Padap.
Perahu/Kapal layar dihias dengan berbagai ornamen melata, ukiran bermacam,
tiang utama di lapisi gading, layar putih tinggi, mempunyai payung kebesaran,
itulah perahu milik penguasa Bali (Babad Dalem). Hampir semua karya sastra
menyebutkan bahwa dalam kapal itu dilengkapi dengan iringan musik gamelan.
Kapal mempunyai warna berbeda, jung perang berwarna hitam, kapal layar
lainnya ada yang putih, merah gelap, dan biru-terang.
Beberapa pemahaman tentang perahu/kapal layar zaman Majapahit
tersebut didokumentasikan oleh orang-orang yang berada di luar lingkaran inti
wilayah Majapahit, seperti Lasem, Bali, Bima, Palembang, dan Banjar, dengan
demikian apa yang dideskripsikan mungkin lugas dan netral. Sosok kapal layar
Majapahit dinarasikan apa adanya, namun memang tidak ada karya sastra yang
memerikan secara lengkap sehingga diperoleh gambaran yang komplit tentang
wujud kapal layar Majapahit. Bagaimana pun diharapkan kapal layar Majapahit
itu dapat direkonstruksi melalui serpihan data yang ada dari berbagai sumber. Hal
yang menarik adalah adanya penggambaran relief satu-satunya dari kapal layar
Majapahit di kompleks Candi Panataran, jadi dapat dipastikan otentik dari
masanya. Dalam relief tersebut dipahatkan kapal layar besar, mempunyai rumah
kapal di tengah, namun bertiang kaki dua yang menyatu di bagian tengah hingga
puncaknya. Kedua kaki tiang itu ditancapkan di bagian tepian dek tengah kapal
lalu menyatu menjadi tiang tunggal di bagian atas rumah kapal. Apakah
konstruksi kapal dengan tiang layar berkaki dua itu memungkinkan?, ataukah
hanya gambaran kisah yang berbau mitos saja, sebab relief itu dipahatkan di
kompleks bangunan keagamaan.
Jakarta, Juni 2009
Aris Agus Munandar
DAFTAR PUSTAKA
Boedenani, H., 1976. Sejarah Sriwijaya. Bandung : Tarate.
Chambert-Loir, Henri, 2004. Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah: Cerita
Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa, Hikayat Sang Bima, Syair
Kerajaan Bima. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École
française d’Extrême-Orient.
Damais, Louis-Charles, 1970. Répertoire Onomastique de L’Epigraphie
Javanaise (Jusqu’a Pu
Sindok Śrī Iśānawikrama Dharmmotuŋgadewa). Paris: École Française
D’Extrême-Orient.
Groeneveldt, W.P.,1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled
from Chinese
Sources. Djakarta: Bhratara.
-------------, 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Terjemahan dari judul
asli: Notes on
The Malay Archipelago and Mallaca Compiled from Chinese Sources. Depok:
Komunitas Bambu.
Groslier, Bernard Philippe, 2002. Indocina Persilangan Kebudayaan. Penerjemah
Ida Sundari
Hoesen. Jakarta-Paris: Kepustakaan Populer Gramedia, École française
d’Extrême-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi.
Hall, D.G.E., 1988. Sejarah Asia Tenggara. Diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh
I.P.Soewarsha. Surabaya: Usaha Nasional.
Hardjowardojo, Pitono, 1965. Pararaton. Djakarta: Bhratara.
Muljana, Slamet, 1979. Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara Karya
Aksara
Munandar, Agus Aris, 1986, ”Prasasti Mula-Malurung: Pelengkap Sejarah
Kerajaan Singhasari”,
dalam Buku IIa Aspek Sosial Budaya, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Cipanas,
3—9 Maret 1986. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Halaman
1-24.
-------------, 2005. “Bingkai Sejarah yang Menjadi Acuan Kisah Panji”, makalah
dalam Seminar
Internasional Jawa Kuna: Mengenang Jasa-jasa Prof.Dr.P.J.Zoetmulder S.J.
Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Kuna. Diselenggarakan oleh
Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, Depok 8—9 Juli
Padmapuspita, Ki J., 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa
Indonesia.
Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.
Panji Kamzah, R. & Panji Karsono, 1920. Carita (Sejarah) Lasem. Semarang:
Pambabar
Pustaka.
Pigeaud, Theodore G.Th., 1960—63, Java in The 14th Century A Study in
Cultural History:
The Nagara-kertagama By Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD. Volume
I—V. The Hague: Martinus Nijhoff.
Rai Putra, I.B., 1995. Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra.
Rass, J.J., 1968. Hikayat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Sumadio, Bambang (Penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia II:
Jaman Kuna.
Jakarta: Balai Pustaka.
Yamin, H.M., 1962. Tatanegara Majapahit II. Risalah Sapta Parwa. Djakarta:
Prapantja.
---------, 1977. Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Jakarta: Balai
Pustaka.
Zoetmulder, P.J. & S.O.Robson, 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia I. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA RAKYAT KALBAR (BATU BALAH BATU BETANGKUP)

makalah-sejarah kerajaan tayan

sejarah kesultanan sintang