sejarah kesultanan sintang


1. Sejarah

Data tentang kapan Kesultanan Sintang berdiri belum ditemukan secara pasti. Diprediksikan, kesultanan ini merupakan kelanjutan dari masa Kerajaan Sintang yang sejak berdirinya masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Berikut ini dikemukakan terlebih dahulu masa Kerajaan Sintang Hindu.

1. 1. Masa Kerajaan Sintang Hindu

Kerajaan ini diperkirakan awalnya terletak di Desa Tabelian Nanga Sepauk, berjarak sekitar 50 km dari Kota Sintang (saat ini). Bukti sejarah berdirinya kerajaan ini dapat ditelusuri melalui sejumlah benda peninggalan sejarah. Sebuah patung yang menyerupai Siwa ditemukan di Desa Temian Empakan, Kecamatan Sepauk. Patung ini mempunyai empat tangan yang terbuat dari perunggu. Di samping itu, juga ditemukan Batu Lingga dan Joni yang bergambar Mahadewa di Desa Tabelian Nanga Sepauk (masyarakat menyebutnya dengan nama lain, Batu Kalbut). Di desa yang sama, ditemukan batu yang menyerupai b*** (sensored) atau lembu, beberapa kapak batu, dan makam Aji Melayu.

Aji Melayu diperkirakan merupakan nenek moyang raja-raja atau sultan-sultan di Kesultanan Sintang. Tidak ada banyak data yang mengungkap tentang asal-usul siapa sebenarnya Aji Melayu itu. Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia merupakan penyebar agama Hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Awalnya, ia menetap di Kunjau, dan kemudian pindah ke Desa Tabelian Nanga Sepauk hingga akhir hayatnya. Ia menikah dengan Putung Kempat, dan dikaruniai seorang putra, Dayang Lengkong.

Dayang Lengkong memiliki garis keturunan yang merupakan para pewaris tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang berikutnya, yaitu: Dayang Randong ? Abang Panjang (Pencin) ? Demong Karang ? Pati Kara ? Demang Minyak (Macak) ? Senari ? Hasan ? Demang Irawan (Jubair Irawan I) ? Dara Juanti.

Pada abad ke-XIII, Demang Irawan memindahkan pusat kesultanan ke Senatang, terletak di persimpangan antara Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Nama Senatang ini lambat-laun lebih dikenal dengan sebutan Sintang. Sebenarnya, penggunaan nama Sintang (Senatang) mulai berlaku sejak zaman pemerintahan Demang Irawan. Pada masa ini, wilayah Kesultanan Sintang mencakup Sepauk dan Tempunak.

Setelah Demang Irawan wafat, tahta kekuasaan dipegang oleh Dara Juanti. Dara Juanti menikah dengan Patih Lugener yang berasal dari Tanah Jawa. Dara Juanti tidak memiliki keturunan (anak). Pada masa pemerintahan Dara Juanti, Kesultanan Sintang pernah mengalami masa kemajuan dan kemakmuran. Karena tidak memiliki anak, sepeninggalan Dara Juanti, tahta kekuasaan Sintang kemudian dipegang oleh Abang Samad sekitar pada tahun 1640 M. Abang Samad merupakan anak angkat dari Dara Juanti.

Setelah Abang Samad, tampuk pimpinan Kesultanan Sintang dipegang secara berturut-turut oleh: Jubair Irawan II ? Abang Suruh ? Abang Tembilang (Abang Pencin) yang bergelar Pangeran Agung. Abang Tembilang merupakan penguasa terakhir di Kerajaan Sintang Hindu. Ia juga merupakan raja yang menganut Islam pertama kali di Sintang. Masa pemerintahan Abang Tembilang dapat dikatakan sebagai babak baru masa Kesultanan Sintang Islam.

1. 2. Masa Kesultanan Sintang Islam

Setelah Abang Tembilang meninggal, tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang dipegang oleh putranya, Abang Tunggal dengan gelar Pangeran Tunggal. Sebelum meninggal, Pangeran Tunggal pernah berwasiat agar Abang Nata menggantikan dirinya. Abang Nata merupakan anak dari kakak perempuan Pangeran Tunggal, Nyai Cili, yang menikah dengan Mangkunegaran Malik.

Pangeran Tunggal sebenarnya memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Purba dan Abang Itut. Namun, Pangeran Purba telah menikah dengan putri dari Sultan Nanga Mengkiang dan kemudian menetap selamanya di sana. Sementara itu, Abang Nata masih berumur 10 tahun. Oleh karena kondisi semacam ini, Pangeran Tunggal melakukan sebuah cara, yaitu menunjuk dua orang menteri, Pangeran Dipati dan Sina Pati Laket. Setelah dewasa, Abang Nata mulai memimpin Kesultanan Sintang. Ia bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairi Waddin. Ia merupakan pemimpin pertama di Sintang yang menggunakan gelar sultan.

Pada masa pemerintahan Abang Nata, banyak terjadi kemajuan di Kesultanan Sintang. Pada masa ini, mulai dibangun masjid pertama kali yang letaknya di ibu kota kesultanan, meski hanya dengan kapasitas 50 orang. Pada masa ini pula, wilayah kekuasaan Sintang meluas hingga ke daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, hingga ke daerah perbatasan Serawak, Kalimantan Tengah, dan Melawi. Di samping mengalami kemajuan secara fisik, ada sejumlah keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan dalam sebuah rapat, yaitu:

1. Ditetapkannya Sintang sebagai Kesultanan Islam
2. Pemimpin Kesultanan Sintang bergelar Sultan
3. Disusunnya Undang-undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal
4. Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah
5. Dibangunnnya istana kesultanan

Sultan Nata menikah dengan Putri Dayang Mas Kuma, putri dari Sultan Sanggau. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Nata dikaruniai seorang putra, Adi Abdurrahman.

Sultan Nata meninggal pada tahun 1150 H, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Putranya, Adi Abdurrahman kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin (Sultan Abdurrahman) atau dengan sebutan lain, Sultan Pikai.

Sultan Abdurrahman menikah dengan Utin Purwa, putri Sultan Sanggau. Mereka dikaruniai dua orang anak, Raden Machmud dan Adi Abdurrosyid. Sultan Abdurrahman menikah lagi (tidak diketahui identitasnya), yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Abang Tole. Setelah Sultan Abdurrahman meninggal, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh putranya, Adi Abdurrosyid dengan gelar Sultan Abdurrosyid. Sementara itu, anaknya yang lain, Raden Machmud diangkat sebagai seorang mangkubumi.

Pada masa Sultan Abdurrosyid, dibangun sebuah masjid baru yang menggantikan masjid lama. Ia tidak lama berkuasa karena jatuh sakit. Pada tahun 1210 H, ia meninggal, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Ade Noh dengan gelar Pangeran Ratu Ahmad Komaruddin. Pada masa pemerintahan Sultan Ade Noh, sejumlah rombongan asal Belanda datang pertama kali ke Sintang, tepatnya pada bulan Juli 1822 M, yang dipimpin oleh Mr. J.H. Tobias, seorang Komisaris dari Kust van Borneo.

Pada bulan November tahun yang sama, Sultan Ade Noh meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan Belanda yang kedua, di bawah pimpinan Dj. van Dungen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie, sebagai juru bicara.

Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dan kerja sama dagang, yang tertuang dalam Voorlooping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1822 M. setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (1823, 1832, 1847, 1855). Secara umum, perjanjian-perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak Belanda untuk melakukan intervensi terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang. Alhasil, intervensi tersebut berdampak negatif terhadap masa depan pemerintahan Kesultanan Sintang.

Pada tahun 1855 M, Pangeran Adipati meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Adi Abdurrasyid Kesuma Negara dengar gelar Panembahan Abdurrasyid. Setelah Panembahan Abdurrasyid meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh Panembahan Ismail. Setelah Panembahan Ismail meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh anaknya, Gusti Abdul Majid dengan gelar Panembahan Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma. Gusti Abdul Majid ditangkap dan dibuang ke Jawa oleh Belanda karena dituduh tidak mau membantu Belanda dalam menyerang pasukan Panggi. Meski demikian, Gusti Abdul Majid bisa kembali ke Sintang pada masa pra-kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebenarnya, sejak dibuang ke Jawa, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh wakil sultan yang bernama Abdul Muhammad Djun. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Kesultanan Sintang sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan kolonial Belanda.

2. Silsilah

Berikut ini adalah silsilah sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Sintang, yang dirunut sejak masa Kerajaan Sintang Hindu:

1. Dayang Lengkong
2. Abang Panjang (Pencin)
3. Demong Karang
4. Pati Kara
5. Demang Minyak (Macak)
6. Senari
7. Hasan
8. Demang Irawan (Jubair Irawan I)
9. Dara Juanti
10. Abang Samad
11. Jubair Irawan II
12. Abang Suruh
13. Abang Tembilang (Abang Pencin) yang bergelar Pangeran Agung
14. Abang Tunggal dengan gelar Pangeran Tunggal
15. Abang Nata (Sultan Nata)
16. Adi Abdurrahman (Sultan Abdurrahman)
17. Adi Abdurrosyid (Sultan Abdurrosyid)
18. Ade Noh (Pangeran Ratu Ahmad Komaruddin)
19. Gusti Muhammad Yasin (Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin)
20. Adi Abdurrasyid Kesuma Negara (Panembahan Abdurrasyid)
21. Panembahan Ismail
22. Gusti Abdul Majid (Panembahan Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma)
23. Abdul Muhammad Djun

3. Periode Pemerintahan

Sejarah kapan berdirinya Kesultanan Sintang tidak diketahui datanya secara pasti, sehingga belum dapat diprediksikan sudah berapa lama kesultanan ini berdiri. Kesultanan Sintang merupakan satu-satunya kesultanan di Kabupaten Sintang yang masih eksis hingga akhirnya “bubar” pada tanggal 1 April 1960 M. Sejak tahun 1966, Sintang merupakan Daerah Tingkat II (Kabupaten) di Provinsi Kalimantan Barat. Ibu kotanya adalah Sintang (tentang sistem pemerintahan dibahas pada bagian tersendiri).

4. Wilayah Kekuasaan

Luas wilayah Sintang adalah 32.279 km², yang mencakup daerah-daerah yang kini dikenal sebagai: Ambalau, Bijai Hulu, Dedai, Kayan Hilir, Kayan Hulu, Kelam Permai, Ketungau Hilir, Ketungau Hulu, Ketungau Tengah, Sei Tebelian (Sungai Tebelian), Sepauk, Serawai, Sintang, dan Tempunak (wilayah ini merupakan Sintang pada masa modern).

5. Struktur Pemerintahan

Tidak banyak data yang bisa diungkap tentang struktur pemerintahan Kesultanan Sintang. Berikut ini adalah data sistem pemerintahan Sintang pada masa kolonial dan awal kemerdekaan RI.

Pada masa penjajahan Belanda (sekitar tahun 1936), Sintang merupakan daerah landschop yang berada di bawah pemerintahan Gouvernement. Daerah landschop terbagi ke dalam empat onderafdeling yang dipimpin oleh seorang controler, yaitu:

1. Onderafdeling Sintang, yang berkedudukan di Sintang
2. Onderafdeling Melawi, yang berkedudukan di Nanga Pinoh
3. Onderafdeling Semitau, yang berkedudukan di Semitau
4. Onderafdeling Boeven Kapuas, yang berkedudukan di Putussibau

Pemerintahan model landschop tersebut berakhir pada tahun 1942 ketika Jepang mulai menjajah Indonesia. Pada masa ini, secara umum, sistem pemerintahan tidak mengalami perubahan, hanya pada sebutan nama wilayah saja: kepala negara disebut Kenkarikan (sekarang setara dengan bupati), wakil kepala negara disebut Bunkenkarikan, di setiap kecamatan diangkat seorang Gunco (kepala daerah).

Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, salah satu kekuasaan Belanda di Sintang, yaitu Afdeling Sintang, diubah menjadi Kabupaten Sintang. Demikian pula terjadi perubahan-perubahan lain: onderafdeling diubah menjadi kewedanan, distric diganti dengan kecamatan, jabatan residen diubah menjadi bupati, kepala distrik diganti menjadi camat.

Sebagai upaya untuk melaksanakan Undang-undang (UU) No. 3 tahun 1953, UU No. 25 tahun 1956 dan UU No. 4 tahun 1956 tentang pembentukan DPR dan DPR Peralihan, maka pada tanggal 27 Oktober 1956 dilantik keanggotaan DPR Peralihan. Sesuai Keppres No. 6 tahun 1959 tanggal 6 November 1959, asas dekonsentrasi dan desentralisasi mulai diterapkan, dengan berperannya bupati sebagai kepala daerah dalam satu tangan, yang dibantu oleh Badan Pemerintahan Harian. Hal itu diatur lebih lanjut dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Sesuai Instruksi Mendagri No. 3 Tahun 1966, tanggal 1 Februari 1966, sistem pemerintahan di Sintang sudah disempurnakan yang disesuaikan dengan daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sintang No. 14 Tahun 2000, pemerintahan Kabupaten Sintang dibagi menjadi 21 kecamatan. Setelah adanya UU No. 43 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Melawi (yang awalnya menjadi bagian dari Sintang), jumlah kecamatan Sintang menjadi 20. Pada tahun 2005, jumlah kecamatan di Sintang berkurang menjadi 14, yang dibagi menjadi 6 kelurahan dan 183 desa (berlaku hingga kini).

6. Kehidupan Sosial-Budaya

Menurut sejarahnya, masyarakat asli Sintang dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu masyarakat dengan tradisi dan adat istiadat Suku Melayu dan masyarakat dengan tradisi dan adat istiadat Suku Dayak. Kedua masyarakat ini tumbuh dan berkembang dalam kondisi wilayah yang memang berbeda. Masyarakat Suku Melayu lebih suka mendiami daerah-daerah di pesisir Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Mereka sangat bergantung pada sumber daya alam kedua sungai yang sangat penting itu, termasuk hubungan dagang yang terjadi di antara kedua sungai tersebut. Mereka juga sangat memegang teguh keyakinan dan ajaran Islam. Sehingga, kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan dalam bingkai Islam.

Sebagai sedikit informasi, Islam masuk ke Sintang pertama kali dan secara resmi pada masa pemerintahan Pangeran Agung (Abang Encin). Karena diterima baik oleh masyarakat Sintang, maka Islam makin berkembang pesat di wilayah Sintang. Pihak kesultanan pun memberikan apresiasi terhadap perkembangan ini. Terbukti, Pangeran Agung mulai memeluk Islam dan beberapa simbol Islam mulai bertebaran di mana-mana, misalnya dalam arsitektur masjid dan event-event kebudayaan.

Sementara itu, masyarakat Suku Dayak lebih suka mendiami daerah-daerah pedalaman di hutan Sintang. Mereka bergantung sepenuhnya pada sumber daya alam yang ada di hutan. Bahkan, kondisi geografis itu mempengaruhi cara hidup mereka. Masyarakat Suku Dayak memegang teguh keyakinan pada kepercayaan animisme dan ajaran-ajaran nenek moyang mereka.

Meski berada pada kubu yang berbeda, kedua suku tersebut masih bisa berakulturasi, baik dalam hal tradisi, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Bentuk akulturasinya dapat berupa eklektik ataupun sinkretik.

Secara umum, tradisi di Sintang pada masa kini banyak dipengaruhi oleh tradisi Melayu. Tradisi dan adat istiadat Melayu yang berlaku di masyarakat Sintang banyak dipengaruhi oleh ajaran dan tradisi istana Kesultanan Sintang yang sejak dahulu dikenal kuat berpegang teguh pada ajaran Islam. (HS/sej/47/05-08).

Sumber

1. “Kabupaten Sintang”, dalam http://www.id.wikipedia.org/wiki/Sintang --> diakses tanggal 7 Mei 2008.
2. “Sejarah Sintang”, dalam http://www.sintang.go.id/selayangpandang/default.asp?topicId=1 --> diakses tanggal 7 Mei 2008.
3. Wibowo, Taufik. t.th. “Kesultanan Sintang”, dalam Istana-istana di Kalimantan Barat.
4. http://melayuonline.com/history/?a=b1R1L29QTS9VenVwRnRCb20%3D=&l=kesultanan-sintang
5. http://www.1001sintang.com/index.php/sejarah-a-budaya/kesultanan-sintang/72-kesultanan-sintang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA RAKYAT KALBAR (BATU BALAH BATU BETANGKUP)

makalah-sejarah kerajaan tayan