sejarah Asia Tenggara
Prasejarah
Masyarakat pertanian awal
Pertanian
adalah perkembangan alami yang berasal dari kebutuhan. Sebelum pertanian, berburu dapat
memenuhi kebutuhan makanan. Masyarakat Asia
Tenggara telah melakukan berbagai kegiatan domestikasi baik berupa hewan
maupun tanaman seperti memelihara anjing, ayam, dan babi beribu-ribu tahun yang lalu. Makanan terkait dengan status
sosial. Apabila makanan tersedia berlebih, orang mengadakan pesta besar dan
semua orang boleh makan sepuasnya. Orang-orang kaya seperti ini biasanya
bekerja bertahun-tahun mengumpulkan makanan atau kekayaan yang dibutuhkan untuk
pesta-pesta ini. Kebaikan orang-orang kaya itu akan diingat oleh masyarakat,
menjadi semacam tabungan budi untuk masa yang akan datang. Kebiasaan ini
tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara, bahkan sampai ke Papua. Masyarakat
dengan ciri seperti ini dikenal sebagai masyarakat agraris.
Pada
saat tekanan jumlah penduduk mencapai titik yang membutuhkan intensifikasi
pertanian, berkembang teknik bercocok tanam, seperti menanam ubi jalar di Papua atau
menanam padi di
wilayah Indonesia lainnya. Para ahli prasejarah berpendapat, teknik bercocok
tanam padi sawah
dikenal masyarakat Asia Tenggara dari Tiongkok,
khususnya lembah Sungai Yangtse dan Yunnan.
Kegiatan
menanam ubi di Papua, contohnya, dimulai dengan menempatkan umbi di lahan yang
telah dipersiapkan, menyiangi gulmanya, menunggunya hingga berkembang, dan
kemudian memanen hasilnya. Urut-urutan kegiatan ini masih dilakukan oleh kaum
wanita di berbagai masyarakat tradisional di Asia Tenggara; sedangkan kaum pria
mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat seperti mempersiapkan lahan atau
memagarinya untuk menghidari kerusakan karena hama babi.
Zaman perundagian awal di semenanjung Asia Tenggara
Sekitar
abad ke-5
SM, penduduk dari daerah Dongson, yang sekarang termasuk
dalam wilayah Vietnam,
telah mampu menguasai keterampilan dasar pengolahan logam. Hasil kebudayaan
logam mereka adalah yang paling tua yang telah ditemukan oleh para arkeolog di
Asia Tenggara. Sedangkan masyarakat terawal yang diketahui di Thailand - yaitu
sekitar tahun 3,000 SM - berlokasi di daerah Ban Chiang.
Pada
sekitar tahun 2,500 SM, bangsa Melayu mulai menyebar di wilayah semenanjung dan
memperkenalkan teknologi primitif pengerjaan logam yang telah mereka kuasai di
wilayah ini. Sekitar tahun 1,500 SM, bangsa Mon mulai memasuki wilayah Burma, sedangkan
bangsa Tai datang
lebih belakangan dari daerah selatan Tiongkok ke daratan Asia Tenggara untuk
kemudian menempatinya pada sekitar milenium pertama Masehi.
Zaman neolitikum akhir dan zaman perundagian awal di Asia Tenggara kepulauan
Kerajaan-kerajaan kuno
Kerajaan-kerajaan
kuno di Asia Tenggara pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
kerajaan-kerajaan agraris dan kerajaan-kerajaan maritim.
Kegiatan
utama kerajaan-kerajaan agraris adalah pertanian. Mereka kebanyakan terletak di
semenanjung Asia Tenggara. Contoh kerajaan agraris adalah Kerajaan Ayutthaya, yang terletak di delta
sungai Chao Phraya, dan Kerajaan
Khmer yang berada di Tonle Sap. Kerajaan-kerajaan
maritim kegiatan utamanya adalah perdagangan melalui laut. Kerajaan
Malaka dan Kerajaan Sriwijaya adalah contoh dari kerajaan maritim.
Tidak
banyak yang diketahui mengenai kepercayaan dan praktek keagamaan Asia Tenggara,
sebelum kedatangan dan pengaruh agama dari para pedagang India pada abad ke-2
Masehi dan seterusnya. Sebelum abad ke-13, agama-agama Buddha dan Hindu adalah
kepercayaan utama di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan di daratan (semenanjung)
Asia Tenggara pada umumnya memeluk agama Buddha, sedangkan
kerajaan-kerajaan di kepulauan Melayu (Nusantara) umumnya lebih
dipengaruhi agama Hindu.
Beberapa kerajaan yang berkembang di semenanjung ini, awalnya bermula di daerah
yang sekarang menjadi negara-negara Myanmar, Kamboja dan Vietnam.
Kekuasaan
dominan yang pertama kali muncul di kepulauan adalah Sriwijaya di Sumatra. Dari
abad ke-5 Masehi, Palembang sebagai ibukota Sriwijaya menjadi pelabuhan besar
dan berfungsi sebagai pelabuhan persinggahan (entrepot) pada Jalur
Rempah-rempah (spice route) yang terjalin antara India dan Tiongkok.
Sriwijaya juga merupakan pusat pengaruh dan pendidikan agama Buddha yang cukup
berpengaruh. Kemajuan teknologi kelautan pada abad ke-10 Masehi membuat
pengaruh dan kemakmuran Sriwijaya memudar. Kemajuan tersebut membuat para
pedagang Tiongkok dan India untuk dapat secara langsung mengirimkan
barang-barang diantara keduanya, serta membuat kerajaan Chola di India
Selatan dapat melakukan serangkaian penyerangan penghancuran terhadap
daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya, yang mengakhiri fungsi Palembang sebagai
pelabuhan persinggahan.
Pulau Jawa
kerap kali didominasi oleh beberapa kerajaan agraris yang saling bersaing satu
sama lain, termasuk diantaranya kerajaan-kerajaan wangsa Syailendra,
Mataram
Kuno dan akhirnya Majapahit.
Para
pedagang Muslim
mulai mengunjungi Asia Tenggara pada abad ke-12 Masehi. Samudera
Pasai adalah kerajaan Islam yang pertama. Ketika itu, Sriwijaya telah
diambang keruntuhan akibat perselisihan internal. Kesultanan Malaka, yang
didirikan oleh salah seorang pangeran Sriwijaya, berkembang kekuasaannya dalam
perlindungan Tiongkok dan mengambil alih peranan Sriwijaya sebelumnya. Agama Islam kemudian
menyebar di seantero kepulauan selama abad ke-13 dan abad ke-14 menggantikan
agama Hindu, dimana Malaka (yang para penguasanya telah beragama Islam)
berfungsi sebagai pusat penyebarannya di wilayah ini.
Beberapa
kesultanan lainnya, seperti kesultanan Brunei di Kalimantan
dan kesultanan Sulu di Filipina secara
relatif mengalami sedikit hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya.
Penjajahan Eropa
Bangsa Eropa pertama kali
sampai di Asia Tenggara pada abad keenam belas. Ketertarikan di bidang
perdaganganlah yang umumnya membawa bangsa Eropa ke Asia Tenggara, sementara
para misionaris turut serta dalam kapal-kapal dagang dengan harapan untuk
menyebarkan agama Kristen ke wilayah ini.
Portugis adalah
kekuatan Eropa pertama yang membuka akses jalur perdagangan yang sangat
menguntungkan ke Asia Tenggara tersebut, dengan cara menaklukkan Kesultanan
Malaka pada tahun 1151. Belanda dan Spanyol mengikutinya dan segera saja mengatasi Portugis
sebagai kekuatan-kekuatan European utama di wilayah Asia Tenggara. Belanda
mengambil-alih Malaka
dari Portugis di tahun 1641, sedangkan Spanyol mulai mengkolonisasi Filipina
(sesuai nama raja Phillip II dari Spanyol) sejak tahun
1560-an. Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur yang bertindak atas nama
Belanda, mendirikan kota Batavia (sekarang Jakarta) sebagai
pusat perdagangan dan ekspansi ke daerah-daerah lainnya di pulau Jawa, serta wilayah
sekitarnya.
Inggris,
yang diwakili oleh British East India Company, secara
relatif datang ke wilayah ini lebih kemudian. Diawali dengan Penang, Inggris
mulai memperluaskan kerajaan mereka di Asia Tenggara. Mereka juga menguasai
wilayah-wilayah Belanda selama Perang
Napoleon. Di tahun 1819, Stamford
Raffles mendirikanSingapura sebagai pusat perdagangan Inggris dalam rangka
persaingan mereka dengan Belanda. Meskipun demikian, persaingan tersebut mereda
di tahun 1824 ketika dikeluarkannya traktat Anglo-Dutch
yang memperjelas batas-batas kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Sejak tahun
1850-an dan seterusnya, mulailah terjadi peningkatan kecepatan kolonisasi di
Asia Tenggara.
Kejadian
ini, yang disebut juga dengan nama Imperialisme Baru,
memperlihatkan terjadinya penaklukan atas hampir seluruh wilayah di Asia
Tenggara, yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. VOC dan East
India Company masing-masing dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pemerintah
Inggris, yang kemudian mengambil-alih secara langsung administrasi wilayah
jajahan mereka. Hanya Thailand saja yang terlepas dari pengalaman penjajahan
asing, meskipun Thailand juga sangat terpengaruh oleh politik kekuasaan dari
kekuatan-kekuatan Barat yang ada.
Tahun
1913, Inggris telah berhasil menduduki Burma, Malaya dan
wilayah-wilayah Borneo,
Perancis
menguasai Indocina,
Belanda memerintah Hindia Belanda, Amerika
Serikat mengambil Filipina dari Spanyol, sementara Portugis masih
berhasil memiliki Timor Timur.
Penguasaan
kolonial memberikan dampak yang nyata terhadap Asia Tenggara. Kekuatan-kekuatan
kolonial memang memperoleh keuntungan yang besar dari sumber daya alam dan dan
pasar Asia Tenggara yang besar, akan tetapi mereka juga mengembangkan wilayah
ini dengan tingkat pengembangan yang berbeda-beda. Perdagangan hasil pertanian,
pertambangan dan ekonomi berbasis eksport berkembang dengan cepat dalam periode
ini. Peningkatan permintaan tenaga kerja menghasilkan imigrasi besar-besaran,
terutama dari India
dan Cina, sehingga
terjadilah perubahan demografis yang cukup besar. Munculnya lembaga-lembaga negara bangsa modern seperti
birokrasi pemerintahan, pengadilan, media cetak, dan juga pendidikan modern
(dalam lingkup yang terbatas}, turut menaburkan benih-benih kebangkitan
grakan-gerakan nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan tersebut.
Asia Tenggara masa kini
Asia
Tenggara modern memiliki ciri-ciri pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada
sebahagian besar negara-negara anggotanya dan semakin dekatnya integrasi
regional. Singapura,
Brunei dan Malaysia secara
tradisional mengalami pertumbuhan yang tinggi dan pada umumnya dianggap sebagai
negara-negara yang lebih maju di wilayah ini. Thailand, Indonesia dan
Filipina
dapat dianggap sebagai negara-negara berpenghasilan menengah di Asia Tenggara,
sementara Vietnam
pada beberapa waktu terakhir juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Beberapa negara yang masih tertinggal pertumbuhannya adalah Myanmar, Kamboja, Laos, dan Timor Timur
yang baru merdeka.
Pada
tanggal 8 Agustus 1967, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
didirikan oleh Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Setelah
diterimanya Kamboja ke dalam kelompok ini pada tahun 1999, Timor Timur adalah
satu-satunya negara di Asia Tenggara yang bukan merupakan anggota ASEAN. Tujuan
ASEAN adalah untuk meningkatkan kerjasama antar komunitas Asia Tenggara. ASEAN Free Trade Area
(AFTA) telah didirikan untuk mendorong peningkatan perdagangan antara
anggota-anggota ASEAN. ASEAN juga menjadi pendukung utama dalam terciptanya
integrasi yang lebih luas untuk wilayah Asia-Pasifik melalui East Asia Summit.
STRUKTUR MASYARAKAT ASIA TENGGARA SEBELUM KEDATANGAN
BANGSA BARAT
J.C.van Leur, adalah ahli Indologi dari Leiden yang pada tahun 1934 sampai dengan tahun 1940 tidak jemu-jemunya mengkritik Historiografi Kolonial. Anggapannya antara lain bahwa sejarah kolonial memandang Indonesia sejak abad ke 17 dari atas geladak kapal, tembok benteng dan kantor dagang. Dia telah tiba pada pendapatnya yang disebut “Sejarah Otonom”. Dalam ruang lingkup pendapat tersebutlah Van Leur mengatakan bahwa kedatangan VOC untuk berdagang didaerah Asia tidak membawa perubahan apa-apa. Perubahan sosial di Asia atau Asia Tenggara atau di Indonesia, baru terjadi sejak abad ke 19, berkaitan dengan industrialisasi di Eropah, atau setelah VOC dibubarkan dan perannya diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Pandangan van Leur ini sebagaimana tulisan De Jong dalam bukunya “De Waaier van het fortuin” (terbit tahun 1998) sangat mempengaruhi jalan fikiran banyak sarjana setelah perang dunia ke II. Misalnya pakar dari Amerika Serikat yang ingin memahami gejolak nasionalisme dan munculnya negara baru di Asia Tenggara menulis salah satu bukunya “In Search of Southeast Asia : A Modern History” diilhami pemikiran Van Leur tentang sejarah Asia. Namun disamping itu, sejak tahun 1980 telah muncul sejumlah studi yang membantah pendapat van Leur. Misalnya sarjana Australia, Anthony Reid dalam 2 jilid bukunya “ Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680” (1992) mengatakan bahwa VOC membawa dampak yang cukup besar dalam bidang politik dikerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Sedangkan dibidang perdagangania dia menyimpulkan bahwa dengan munculnya hegemoni VOC dalam bidang ini sejak pertengahan abad ke 17, maka dinamika perdagangan di Asia Tenggara (khususnya Indonesia) beralih sama sekali ketangan VOC.
Tulisan ini akan membahas bagaimanakah struktur masyarakat Asia tenggara sebelum kedatangan bangsa barat dengan pola pertanian dan perdagangannya.
J.C.van Leur, adalah ahli Indologi dari Leiden yang pada tahun 1934 sampai dengan tahun 1940 tidak jemu-jemunya mengkritik Historiografi Kolonial. Anggapannya antara lain bahwa sejarah kolonial memandang Indonesia sejak abad ke 17 dari atas geladak kapal, tembok benteng dan kantor dagang. Dia telah tiba pada pendapatnya yang disebut “Sejarah Otonom”. Dalam ruang lingkup pendapat tersebutlah Van Leur mengatakan bahwa kedatangan VOC untuk berdagang didaerah Asia tidak membawa perubahan apa-apa. Perubahan sosial di Asia atau Asia Tenggara atau di Indonesia, baru terjadi sejak abad ke 19, berkaitan dengan industrialisasi di Eropah, atau setelah VOC dibubarkan dan perannya diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Pandangan van Leur ini sebagaimana tulisan De Jong dalam bukunya “De Waaier van het fortuin” (terbit tahun 1998) sangat mempengaruhi jalan fikiran banyak sarjana setelah perang dunia ke II. Misalnya pakar dari Amerika Serikat yang ingin memahami gejolak nasionalisme dan munculnya negara baru di Asia Tenggara menulis salah satu bukunya “In Search of Southeast Asia : A Modern History” diilhami pemikiran Van Leur tentang sejarah Asia. Namun disamping itu, sejak tahun 1980 telah muncul sejumlah studi yang membantah pendapat van Leur. Misalnya sarjana Australia, Anthony Reid dalam 2 jilid bukunya “ Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680” (1992) mengatakan bahwa VOC membawa dampak yang cukup besar dalam bidang politik dikerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Sedangkan dibidang perdagangania dia menyimpulkan bahwa dengan munculnya hegemoni VOC dalam bidang ini sejak pertengahan abad ke 17, maka dinamika perdagangan di Asia Tenggara (khususnya Indonesia) beralih sama sekali ketangan VOC.
Tulisan ini akan membahas bagaimanakah struktur masyarakat Asia tenggara sebelum kedatangan bangsa barat dengan pola pertanian dan perdagangannya.
A. Pola pertanian
Air dan hutan merupakan dua unsur dominan di Asia tenggara yang menggambarkan kesuburan tanah didaerah ini. Ditambah musim tropis yang sangat nyaman dan kecilnya peluang terjadinya bencana, memungkinkan alam berbaik hati kepada para petani. Pola pertanian yang terdapat di Asia Tenggara antara lain dimaksudkan untuk menggarap tanah dengan tujuan hasil pertanian paling pokok yaitu kebutuhan makan sehari-hari. Bahan makanan pokok utama sehari-hari adalah Beras. Pada abad ke 15 padi sudah menjadi tanaman yang disukai dan dimana-mana tumbuh dengan baik kecuali didaerah pulau-pulai ditimur Indonesia yang gersang seperti Timor, Maluku Selatan, kepulauan Aru, Buton, selayar dll. Disana mereka membudi dayakan sagu untuk makanan pokoknya. Padi terdapat hampir disemua daerah Asia tenggara mulai dari Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunai, Filipina. Pembajakan tanah yang ditarik binatang, cara menanam, memotong (menggunakan ani-ani), menumbuk dan menuai padi sehingga menghasilkan beras dapat dikatakan hampir sama disenua tempat, meskipun disana-sini ada sedikit perbedaan. Termasuk pula sistim pengairan maupun penanam padi ladang, serta pertanian berpindah. Disamping tanaman pokok tersebut diatas masyarakat Asia Tenggara juga menanam berbagai jenis tanaman yang kemudian menentukan jalannya sejarahnya. Salah satu komoditi tanaman melimpah yang membawa Asia Tenggara kedalam sistim perdagangan dunia adalah rempah-rempah. Jenis rempah-rempah utama yang ditanam adalah cengkeh, pala, lada. Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, rempah-rempah ini sudah diperdagangkan secara luas di Asia yang kemudian menembus Eropah. Diluar rempah-rempah para peneliti asing tidak menemui sayur-sayuran yang melimpah kecuali dijawa. Dalam jumlah yang terbatas juga ditanam berbagai jenis tanaman yang dipakai untuk obat seperti asam, kunyit, jahe, kemukus, calamus. Cabai baru ditemukan belakangan setelah dibawa dari Amerika Selatan. Buah-buahan yang banyak jenisnya banyak ditemukan cukup melimpah seperti kelapa, durian, pepaya, manggis, jeruk besar, rambutan dan sebagainya.
b. Perdagangan.Sebelum kedatangan bangsa barat, baik dizaman sebelum Islam maupun sesudah Islam, sistim perdagangan Asia Tengagara telah dibangun atas dua jalur perdagangan. Yaitu jalur sutera yang merupakan jalur darat yang berawal dari Cina melintas Asia Tenggara dan berahir dilaut tengah. Perjalanan ke Eropah dilanjutkan dengan kapal. Jalur kedua adalah jalur laut yang dimulai dari Cina, melalui Asia Tenggara dan berahir di Asia Timur. Motor dari jalur laut ini adalah hembusan angin yang berganti arah secara teratur sebagai angin musim setiap tahun. Akibat dari jalur laut ini muncullah kota-kota dagang penting (emporium) seperti Aden, Bandar Abas, Kalikut, Malaka, Kanton dan sebagainya. Malaka merupakan pelabuhan besar yang penting di Asia Tenggara yang diperkirakan sudah berdiri sekitar tahun 1400 dan merupakan bandar dagang yang memiliki gudang-gudang besar. Komoditi yang diperdagangkan terutama adalah rempah-rempah dari maluku, lada dari Sumatera, beras dari Jawa. Selain itu terdapat pula pelabuhan penting lainnya seperti Banten, Tuban, Gresik, Surabaya. Para penguasa pelabuhan berdiam didalam kota yang dikelilingi benteng demi kemanan. Mereka menerima upeti/pajak dari para pedagang dikota pelabuhannya. Tugas utama diberikan kepada Syahbandar. Dialah yang pertama memeriksa dagangan dari kapal yang masuk dan yang pertama menawar atau membeli. Tidak sedikit penguasa pelabuhan ini yang memiliki kapal sendiri yang berlayar sampai manca negara. Para ahli berpendapat akibat fluktuasi yang meningkat sejak tahun 1400 dari frekuensi dan volume perdagangan, telah dicapai puncaknya pada tahun 1630. Setelah itu menurun. Periode ini menurut Anthony Reid disebut sebagai “ Age of Commerce”. Karena dampaknya juga terasa di Eropah dalam periode yang sama, maka dianggap suatu gejala global yang disebut “The long sixteenth century”. Sebelum kedatangan bangsa barat, perdagangan Asia tenggara juga ditandai apa yang disebut “Tributary trade” atau perdagangan upeti kepada Cina, karena pada saat itu Cina merupakan negara hegemoni bagi kerajaan-kerajaan pedagang di Asia Tenggara. Mereka mengirim kapal upeti setiap tahun ke Cina. Hal yang sama juga dilakukan semua penguasa Malaka untuk mendapat perlindungan Cina dari ancaman negara tetangga seperti Siam. Dalam Inter Asia Trade ini selain melakukan export (rempah-rempah dan hasil bumi lainnya), dari manca negara mereka mengexport berbagai komoditi yang laku di Asia Tenggara. Misalnya sutera dan keamik dari Cina, tekstil dari India.
Komentar
Posting Komentar